Memahami Permasalahan KDRT di Indonesia
Penulis: Desimawati Natalia, Ufiya Amirah, Tabitha Angelica, dan Angela Frenzia | Editor: Rickdy Vanduwin | Nov 10, 2022 | Gender
Fenomena dan Definisi KDRT
Beberapa waktu belakangan masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus kekerasan yang dilakukan oleh Rizky Billar pada istrinya Lesti Kejora. Korban dan terlapor merupakan suami istri, terlapor ketahuan selingkuh yang berujung penahanan Rizky Billar oleh penyidik Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan pada 13 Oktober 2022. Berdasarkan laporan, kekerasan yang dilakukan Risky terhadap Lesti berupa menarik tangan, mencekik, dan membanting sehingga mengakibatkan luka parah.
Keputusan Lesti tersebut kembali menjadi perbincangan masyarakat. Ada yang memuji tindakan tersebut, namun banyak yang menentang pencabutan laporan karena dianggap akan membuat kebingungan bagi korban lainnya. Kegelisahan masyarakat tersebut sangatlah beralasan mengingat kasus KDRT di Indonesia adalah kasus yang kerap terjadi. Pada akhir Agustus 2020 saja, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendapati sebanyak 213 kasus KDRT dari 319 laporan kasus kekerasan (Susiana, 2020).
KDRT sendiri telah dirumuskan dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Komnas Perempuan menambahkan bahwa KDRT dapat dialami oleh siapa saja dalam sebuah rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan, atau siapa saja yang memiliki hubungan keluarga karena darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan menetap dalam sebuah rumah tangga. Selain itu, mereka yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di dalam sebuah rumah tangga juga bisa saja menjadi korban KDRT (Komnas Perempuan, 2020).
Sulitnya Lepas dari Relasi Kekerasan
Berkaca dari kasus KDRT yang kerap terjadi, ditemukan banyak korban yang sulit melepaskan diri dari relasi kekerasan meskipun sudah ada kesadaran akan bahaya KDRT. Melansir choosingtherapy.com, korban sulit melepaskan diri dalam relasi kekerasan yang dijalaninya walaupun sudah memiliki kesadaran terkait bahaya kekerasan dikarenakan manipulasi yang secara terus-menerus dillakukan pelaku terhadap korban. Pelaku menggunakan strategi DARVO (Deny, Attack, Reverse Victim, and Offenders) atau menyangkal, menyerang, membalikkan korban, dan pelaku agar membuat korban ketergantungan secara emosional terhadapnya. Taktik menyangkal atau deny kerap dilakukan pelaku pada saat kesalahan yang dilakukannya diketahui dan terbukti benar. Pelaku akan mengkonfrontasi tuduhan dengan memberikan penilaian bahwa dirinya baik dan tidak mungkin melakukan hal demikian. Dalam kondisi tertentu, ketika korban tidak menerima penyangkalan tersebut, pelaku akan melakukan serangan (attack) kekerasan baik secara psikologis ataupun fisik untuk mendistraksi pokok permasalahan yang sedang dibicarakan. Sedangkan metode membalikkan korban dan pelaku atau reverse victim and offender dilakukan pelaku untuk memanipulasi keadaan seakan-akan korbanlah penyebab kesalahan itu terjadi. Misalnya dalam kasus Lesti (korban), Bilar (pelaku) mencekek korban dengan alasan bahwa Lesti tidak patuh pada perkataan pelaku.
Kultur masyarakat yang patriarkis juga menormalisasi kekerasan khususnya KDRT. Hal ini dapat dilihat bagaimana sulitnya perempuan keluar dari zona KDRT. Perempuan yang memutuskan bercerai dikarenakan KDRT rentan mendapatkan penghakiman sosial dengan dicap sebagai ‘perempuan rendahan’. Bahkan anak dari keluarga yang bercerai atau broken home juga mendapatkan stigma ‘anak nakal’. Menurut Alessandra Langit dalam parapuan.com, stigma masyarakat justru memperburuk kondisi perempuan pasca bercerai. Hal ini lantaran keutuhan rumah tangga dibebankan pada tanggung jawab perempuan. Sejalan dengan Langit, Agustin (2022) menjelaskan pertimbangan perempuan sulit lepas dari relasi KDRT selain cap perempuan buruk juga indikasi perilaku diskriminatif terhadap anaknya.
Salah satu faktor dominan penyebab perceraian adalah buruknya keuangan keluarga (Nibras et al., 2021). Ini artinya kemandirian finansial antara suami dan isteri turut memengaruhi keharmonisan hubungan. Dalam beberapa kasus, rendahnya pendidikan perempuan menyebabkan kemandirian ekonomi isteri bergantung pada keuangan suami. Sehingga ketika perempuan menjadi korban KDRT, korban memutuskan untuk tetap mempertahankan hubungan demi dapat mempertahankan hidup dirinya dan/atau anaknya.
Budaya menyalahkan korban atau victim blaming menjadi pertimbangan korban apakah tetap bertahan atau memutus relasi kekerasan. Namun, konstruksi budaya yang patriarkis, mengakibatkan minimnya support system terhadap korban kekerasan. Investigasi Liputan 6 menemukan seorang korban perkosaan dalam pernikahan yang menyatakan kesulitannya dalam mencari pendampingan dan dukungan ketika mengalami KDRT. Sekalipun ada yang bersedia mendengarkan ceritanya, korban merasa mereka tidak benar-benar berpihak padanya. Penghakiman sosial seperti inilah yang justru menimbulkan trauma berlapis bagi korban KDRT (Defianty, 2022).
Relevansi Budaya Patriarki dan Imputasi Hukum pada Pelaku KDRT
Pada dasarnya keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur sosial masyarakat, oleh karena itu tanggungjawab akan pembagian peran dan tugas dari masing-masing anggota keluarga umumnya hanya akan dilakukan dan diketahui oleh anggota keluarga itu sendiri. Selain itu terkait peran dari anggota keluarga, masyarakat cenderung menganggap bahwa sosok laki-laki terkhususnya figur suami dan ayah merupakan sosok yang dominan sebaliknya perempuan yang memerankan figur sebagai istri ataupun ibu ditempatkan sebagai sosok pasif. Dengan cara pandang ini terlihat bahwa telah terjadi ketimpangan gender. Perempuan dikonstruksikan bergantung pada laki-laki dan menjadi subordinat yang tidak berdaya. Hal inilah yang menyebabkan mayoritas perempuan menjadi korban kasus KDRT (Lestari, 2016).
Ternyata budaya patriarki yang telah diterapkan dalam sistem sosial masyarakat, termasuk dalam keluarga, merupakan penyebab terjadinya KDRT. Anggapan bahwa rumah tangga sebagai ranah domestik yang bersifat privat telah membentuk gagasan bahwa KDRT merupakan permasalahan yang bersifat pribadi dan tidak dapat dicampuri oleh orang lain di luar rumah tangga itu sendiri. Inilah yang menyebabkan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga kerap dianggap hal yang wajar. Parahnya, kekerasan digunakan oleh superior pada anggota keluarga lain sebagai bentuk pendisiplinan (Manan, 2008). KDRT yang ditempatkan dalam ruang privat ini memunculkan mitos bahwa KDRT adalah aib yang perlu dirahasiakan dari masyarakat.
Ketimpangan gender sebenarnya telah dinormalisasi oleh negara, ini terlihat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menempatkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat 3) dan pada Pasal 34 ayat 1 dan 2 yang menjelaskan tanggungjawab suami serta isteri dalam menjalankan rumah tangga. Tentu kedua hal ini tidak dipungkiri telah berpengaruh besar dalam membentuk cara berpikir masyarakat dalam melihat kedudukan laki-laki serta perempuan dan definisi dari perkawinan. Negara hari ini telah ikut melegitimasi adanya ketimpangan gender dalam suatu perkawinan, tidak hanya itu respons Negara dalam melindungi korban KDRT pun perlu dipertanyakan ketika melihat semakin tingginya angka KDRT di beberapa wilayah di Indonesia.
Indonesia sebenarnya telah memiliki regulasi khusus mengenai proses hukum terhadap pelaku dan perlindungan korban yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam kebijakan ini juga telah mengatur mengenai hukuman dan denda terhadap pelaku, serta perlindungan hukum yang diberikan kepada korban KDRT (Donny, 2016). Akan tetapi dalam kebanyakan kasus aparat hukum belum memiliki perspektif korban, sehingga tidak ada yang memperhatikan kondisi korban KDRT sesudah pelaporan dan selama jalannya proses hukum hingga setelah proses hukum dilalui, padahal ini perlu dilakukan mengingat kondisi psikis dari korban saat itu tergolong lemah sehingga menyulitkan bagi korban KDRT untuk berpikiran rasional. Tidak tegasnya hukuman terhadap pelaku KDRT tampak pada adanya opsi berupa ‘mediasi penal’. Inilah yang memungkinkan opresi dan manipulasi terhadap korban untuk menarik kembali laporannya, seperti yang terjadi pada kasus KDRT Lesti. Alih-alih mendapat efek jera, pelaku justru tidak mendapatkan saksi hukum atas perbuatannya.
Proses hukum yang tidak berkeadilan inilah yang kemudian membuat korban terkadang ragu untuk melapor. Minimnya dukungan dari orang terdekat akibat dari kesalahpahaman makna KDRT sebagai suatu fenomena yang normal mengakibatkan korban sulit untuk melawan. Korban KDRT juga umumnya akan mendapatkan tekanan dari masyarakat karena menganggap bahwa pelaporan hukum terkait KDRT sebagai aib keluarga. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai bahaya KDRT menciptakan normalisasi terhadap pelaku. Alhasil sering ditemui tanggapan masyarakat dan public figure yang terkesan memafkan pelaku dan menyalahkan korban. Lebih buruknya lagi, bahkan banyak yang memanfaatkan kasus KDRT untuk kepentingan komersil seperti yang dilakukan oleh Baim Wong.
Mengikis KDRT dengan Nilai-Nilai Kesetaraan
Istilah domestic violence atau KDRT sangat memengaruhi masyarakat dalam memandang permasalahan itu sendiri. Bell Hooks dalam bukunya Feminism Is For Everybody berpendapat bahwa istilah kekerasan rumah tangga terkesan intim, kurang mengancam, dan kurang berbahaya daripada kekerasan yang terjadi di luar rumah tangga. Menurut Bell Hooks istilah kekerasan patriarki sebenarnya lebih tepat untuk menggambarkan kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya, kekerasan sesama jenis, hingga kekerasan orang dewasa terhadap anak-anak. Jika diamati, pola kekerasan di lingkup rumah tangga sebenarnya sangat lekat dengan budaya patriarki. Sebagaimana kekerasan patriarki, KDRT didasari keyakinan bahwa seseorang yang lebih kuat, boleh mengendalikan atau menguasai yang lebih lemah melalui paksaan (Hooks, 2000).
Apabila akar KDRT adalah budaya patriarki, maka meningkatkan kesadaran pada masyarakat tentang kesetaraan peran dan kedudukan antara pasangan rumah tangga, serta keseimbangan hak tiap anggota keluarga adalah solusinya. Tentu saja hal ini perlu didukung oleh semua masyarakat. Dimulai dengan mengubah cara pandang terhadap kekerasan dalam relasi rumah tangga, tidak melanggengkan pola-pola dominasi dalam mendidik anak, misalnya; tidak menggunakan bentuk serangan fisik dan verbal kepada anak-anak dalam berkomunikasi. Selain itu orang tua juga perlu belajar menyelesaikan permasalahan di lingkup rumah tangga tanpa mengunakan kekerasan. Pada tataran yang lain, pemerintah perlu memberlangsungkan edukasi mendalam mengenai kekerasan dalam lingkup rumah tangga serta hak-hak korban kekerasan demi meningkatkan kesadaran masyarakat secara lebih luas.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, delegasi nilai-nilai yang timpang dalam rumah tangga ditemukan di Indonesia dalam UU Perkawinan. Apabila negara menginginkan penghapusan kekerasan dalam relasi rumah tangga, sudah sepatutnya pemerintah menegakkan peraturan yang tidak bias/timpang gender. Salah satunya seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Tim Konde, 2020). Hal lain yang juga harus diubah dari masyarakat adalah stereotip bahwa laki-laki selalu menjadi pelaku dalam KDRT. Memang benar ada banyak data menyebutkan bahwa perempuan kerap menjadi korban KDRT, akan tetapi bukan berarti tidak ada laki-laki yang menjadi korban KDRT.
Oleh karena itu diperlukan sinergi dari seluruh elemen masyarakat dalam upaya-upaya penghapusan kekerasan patriarki dalam bentuk apapun. Karena patriarki yang menciptakan budaya kekerasan telah dilanggengkan oleh masyarakat, maka untuk mengubah dan menciptakan kembali budaya yang jauh dari kekerasan tentu harus dilakukan bersama-sama pula. Sangat penting bagi semua orang dengan gender, ras, atau kelas sosial apapun untuk membangun kesadaran akan nilai-nilai kesetaraan. Jika hal itu dapat dilakukan, maka penggunaan kekerasan patriarki seperti KDRT akan sangat mungkin dikikis dari masyarakat.
Jika mengalami atau mendapati kasus kekerasan dalam lingkup rumah tangga, berikut ini adalah informasi lembaga yang dapat membantu penanganan KDRT:
Lembaga:
- Komnas Perempuan
- Hotline Sapa 129 (KPPPA)
- LBH Apik
- WCC Rifka Annisa (Yogyakarta)
- P2TP2A
- Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)
Website:
- Aplikasi Lapor Kasus
- Website www.carilayanan.com
- Link LSM wilayah https://komnasperempuan.go.id/mitra-komnas-perempuan/pengada-layanan
Layanan Konseling:
- Yayasan Pulih
- WCC Rifka Annisa
- WCC Durebang Bandung
- Savy Amira Surabaya
- P2TP2A
Referensi
Agustin, Sienny. (2022, Februari 25). Dampak Psikologis yang Dialami Anak Broken Home. https://www.alodokter.com/risiko-yang-dialami-anak-broken-home
Defianti, Ika. (2022, Oktober 17). Angka KDRT Terus Naik, Saatnya Korban Jangan Diam Saja. https://www.liputan6.com/news/read/5098848/angka-kdrt-terus-naik-saatnya-korban-jangan-diam-saja
Donny, Arnoldus. (2016). Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Istri. (Studi pada Lima Permasalahan Ekonomi dalam Keluarga di Kota Samarinda Kalimatan Timur). ejournal Sosiatri-Sosiologi. Vol 4(4). 58-74. https://www.ejournal.ps.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2016/11/E-Jurnal%20Arnoldus%20Donny%20(11-15-16-05-00-06).pdf
Manan, Mohammad. (2008). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Sosiologis. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol 5(3). 1-32. https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/295/180
Hooks, B. (2000). Feminism Is For Everybody: Passionate Politics. Boston, United States: South End Press.
Komnas Perempuan. (2020). Menemukenali Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Instrumen Modul dan Referensi Pemantauan. https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/menemukenali-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt#
Langit, Alessandra. (2021, Mei 5). Menengok Realita Stigma Sosial terhadap Perempuan yang Bercerai. https://www.parapuan.co/read/532682190/menengok-realita-stigma-sosial-terhadap-perempuan-yang-bercerai.
Lestari, Fitri. (2016, Februari 19). KDRT Bukan AIB, Perlu Dilaporkan. Jurnal Perempuan. https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/kdrt-bukan-aib-perlu-dilaporkan
Nibras,M., Shinta,D., Maya,O (2021). Cerai Gugat: Telaah Penyebab Perceraian pada Keluarga di Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora, Vol 6 (1), 11-19. DOI: 10.36722/sh.v6i1.443
Patterson, Eric. (2022, Juni 1). DARVO: Deny, Attack, Reverse Victim, & Offender. https://www.choosingtherapy.com/darvo/
Susiana, S. (2020). Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasca Pandemi Covid-19. Info Sigkat Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual dan Strategis. Vol 12(24).14-18. https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XII-24-II-P3DI-Desember-2020-177.pdf
Tim Konde. (2020, Maret 1). Perempuan Korban KDRT Enggan Bercerai Karena Ingin Hindari Sanksi Sosial. https://www.konde.co/2020/03/riset-perempuan-korban-kdrt-enggan.html/