Solusi Kekerasan Seksual: Kebiri Kimia atau RUU PKS?
Casamira Gitta | Feb 17, 2021 | Minutes
Kebiri sendiri sifatnya sangat sementara, maka “efek jera” ini sebenarnya tidak akan timbul juga pada pelaku. Selain itu, banyak sekali KS yang terjadi dalam rumah tangga dengan pelaku keluarga sendiri, sifatnya pun sangat berkelanjutan. Namun pemerintah tidak mempertimbangkan hal ini karena tidak melihat sendiri ke lapangan.
Moderator (M):
Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Peraturan tersebut banyak dikritisi oleh ahli hukum, pegiat HAM, dan aktivis yang aktif menangani kasus kekerasan seksual (KS). Sementara itu, di sisi lain, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dinilai lebih solutif untuk pencegahan kasus KS dan pemulihan korban KS selalu ditarik ulur proses pembahasannya. Namun, untungnya RUU PKS saat ini kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2021. RUU PKS dinyatakan memberi solusi-solusi yang lebih holistik untuk menghapus kasus KS di Indonesia. Lantas, manakah dari keduanya yang menjadi solusi tepat dalam penanganan Kekerasan Seksual? Bagi kedua pembicara, bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?
Riska Carolina (RC):
Kebiri menjadi solusi atau masalah baru? Sejak masih dalam tahap Perpu (sebelum menjadi PP) saja, sudah terdengar sangat reaktif saat itu. Sebenarnya, hukuman kebiri sudah ada dalam wacana sejak beberapa tahun lalu, yang diusulkan Ketua KPAI saat itu yang seorang laki-laki. Namun setelah kasus YY pada 2018 di mana terjadi KS terhadap anak yang dilakukan sesama anak, muncul pertanyaan baru mengenai akuntabilitas apa yang dapat hadir dengan mengebiri pelaku anak, menyebabkan perlunya dilakukan peninjauan kembali. Hal ini mendorong dilakukannya perubahan/amandemen II pada UU No. 23 tahun 2002 tersebut tentang Perlindungan Anak.
Selain itu, “efek jera” yang dimaksud seringkali salah sasaran karena pembuat kebijakan gagal dalam mendefinisikan dan memahami lingkup berbagai bentuk KS. KS pada dasarnya melibatkan unsur pemaksaan dengan memanfaatkan ketimpangan relasi kuasa untuk membuat pelaku merasa memiliki kuasa (power) dan kendali (control) terhadap korban. Tindakan yang dilakukan tidak selamanya harus melibatkan penetrasi penis atau alat kelamin pada korban, dan bahkan tidak perlu melibatkan tindakan seksual. Contohnya adalah kasus pelaku KS yang mendapat kepuasan seksual dari menyuruh korbannya menggunakan kain bungkus. Dengan menggunakan definisi yang sempit terhadap KS, banyak pelaku yang dapat berjalan bebas tanpa dipidana. Mengapa saya menolak kebiri? Menurut Dr. Luke Marcus, seorang ahli gender, kebiri hanya “mengutuk penis”, yang berarti hukuman kebiri hanya menangani alat kelamin pelaku yang dianggap menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual tanpa menuntaskan akar masalah yang sebenarnya seperti ego maskulinitas yang menjadi gejala patriarki, maupun faktor-faktor pendukung lainnya seperti peer pressure dan pemaksaan yang terlibat. Selain itu, menurut guru besar Maharani kebiri dapat salah sasaran karena diterapkan dengan asumsi bahwa pelaku pasti merupakan orang dengan hasrat seksual yang abnormal, padahal tidak selalu demikian. Menurut ahli psikologis, kebiri hanya melanggengkan status quo masyarakat bahwa kekerasan seksual sepenuhnya terjadi karena kesalahan alat kelamin pelaku individu, dan bukan karena tatanan sosial yang ada. Dengan adanya hukuman kebiri, masyarakat seakan diyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak ada perubahan sosial yang perlu terjadi untuk menangani kekerasan seksual.
Menurut data statistik, negara-negara yang menetapkan hukuman mati atau penyiksaan justru menempati posisi teratas dalam tingkat perkosaan, sehingga tidak benar klaim yang menyatakan bahwa hukuman kebiri pada pelaku, yang merupakan bentuk penyiksaan, dapat efektif menyelesaikan KS.
Berikut beberapa masalah dari PP No. 70 Tahun 2020:
- Tidak didukung oleh data maupun penelitian valid yang menyatakan hukuman ini efektif mencegah dan menangani KS.
- Kurangnya pemerataan pembangunan menyebabkan terbatasnya persebaran akses sumber daya maupun fasilitas dan tenaga layanan kesehatan di daerah-daerah tertentu. Tidak semua daerah di Indonesia memiliki akses yang sama terhadap layanan kesehatan. Apabila tidak ada tenaga medis yang cukup di suatu daerah, atau terdapat keterbatasan alat dan seterusnya, dapat berisiko menimbulkan komplikasi kesehatan.
- Kebiri sendiri merupakan penyiksaan badan dan sebuah upaya manajemen mikro terhadap tubuh manusia, membuatnya tidak manusiawi sebagai hukuman.
- PP tidak komprehensif dalam mendefinisikan KS yang dapat terjadi.
Rekomendasi yang ingin disampaikan bagi pembuat kebijakan dan pemerintah antara lain: 1) memperdalam penelitian mengenai KS; 2) mengutamakan pemulihan dan keberlanjutan korban dalam penanganan KS; 3) hukuman tambahan bagi pelaku dapat berupa reparasi yang menunjukkan akuntabilitas bagi pelaku, misalnya cukup dengan pendokumentasian berupa pencatatan nama dan identitas pelaku untuk dimasukkan dalam no-recruit list, dan seterusnya; serta 3) memberikan pendidikan ekstensif mengenai hubungan sehat dan otonomi seksualitas sejak dini sebagai salah satu upaya pencegahan KS.
Dewi Julianti (DJ):
Saya setuju dengan Riska. Kebiri sendiri sifatnya sangat sementara, maka “efek jera” ini sebenarnya tidak akan timbul juga pada pelaku. Selain itu, banyak sekali KS yang terjadi dalam rumah tangga dengan pelaku keluarga sendiri, sifatnya pun sangat berkelanjutan. Namun pemerintah tidak mempertimbangkan hal ini karena tidak melihat sendiri ke lapangan. Kekerasan seksual dibuat seakan hanya terjadi dalam kondisi tertentu, padahal nyatanya sangat dekat di kehidupan sehari-hari karena sangat melekatnya budaya patriarki. Budaya patriarki membuat pria menganggap dirinya berhak mendominasi dan memanfaatkan perempuan dan anak. Pemerintah tidak meneliti lebih lanjut dan hal ini terlihat dari minimnya orientasi terhadap korban. Kebiri justru dapat menimbulkan kekerasan baru.
Pertanyaan: Banyak dari khalayak yang merasa tindakan kebiri kimia merupakan solusi tepat untuk menimbulkan “efek jera” bagi pelaku dan menghalangi niat seseorang untuk melakukan kekerasan seksual. Namun, banyak aktivis dan advokat yang tidak berpendapat demikian. Apa saja keprihatinan yang timbul dalam penerapan kebiri kimia sebagai sanksi tambahan bagi pidana kekerasan seksual? Bila kebiri kimia bukan merupakan tindakan tepat untuk mencegah KS, bagaimana tindakan yang tepat untuk mencegah pelaku mengulangi tindak pidananya setelah dilepaskan dari lembaga pemasyarakatan?
RC: Selain masalah-masalah yang telah saya sebutkan tadi, perlu ditambahkan juga bahwa anggaran untuk kebiri sangat besar dan membutuhkan keilmuan dan sumber daya yang belum tentu dimiliki setiap daerah. Satu hal lagi karena kebiri kimia sebenarnya sangat tidak efektif untuk menghambat hasrat seksual pelaku. Seperti yang mbak Ullie tadi katakan, kebiri ini sangat temporer, sementara itu hasrat seksual dapat muncul dengan sendirinya lama setelah dikebiri dan tidak dapat distagnasi. Daripada kebiri, lebih baik pemerintah membuat hukum berbasis akuntabilitas dengan memperberat pidana pelaku dan menekankan pada rehabilitasi pelaku.
DJ: Benar, kebiri itu tidak efektif maupun manusiawi. Bahkan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) saja tidak menyetujui keberadaan hukuman kebiri dan menolak untuk menerapkannya. Lagipula walaupun pelaku sudah dikebiri, ia dapat tetap melakukan KS karena kebiri tidak semerta-merta menghapus keinginannya untuk melakukan KS. Pada dasarnya sebelum ada hasrat seksual ada keinginan yang dibangun oleh tatanan sosial tersebut. Di sinilah seharusnya konseling memainkan peran dalam merehabilitasi pelaku dan mendekonstruksi keinginan tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya konseling yang seharusnya bersifat wajib dan merupakan tahap penting dalam mitigasi KS, justru menjadi sesuatu yang opsional yang sebatas ditawarkan ke pelaku. Selain itu, pendidikan seks komprehensif juga sangat diperlukan dalam upaya mitigasi KS.
RC: Betul, pendidikan seks komprehensif sangat penting untuk diimplentasikan, tetapi sampai saat ini masih belum lolos karena kata-kata kunci seperti “identitas gender” dan “pacaran” yang dianggap “menjerumuskan” anak-anak. Padahal, kenyataannya identitas gender itu ada dan pacaran merupakan salah satu fase hidup yang perlu dipelajari untuk mencegah kekerasan dalam pacaran, termasuk kekerasan seksual di kalangan anak muda. Tentu saja, kontennya juga akan disesuaikan dengan pemahaman seumuran anak. Sepertinya pembuat kebijakan pun perlu dididik dulu sebelum dapat meloloskan pendidikan seks untuk massa.
Pertanyaan: RUU PKS juga dapat menjadi pintu awal sebagai payung hukum bagi penanganan korban dan pencegahan KS. Apakah RUU PKS juga dapat berlaku bagi korban KBG (Kekerasan Berbasis Gender) yang merupakan minoritas gender/orang transgender? Seringkali teman-teman transgender enggan melapor ke aparat yang tidak menggubris dan malah memperburuk situasi. Apakah RUU PKS juga dapat menjadi solusi bagi mereka?
RC: Untuk sekarang, hal ini masih diupayakan. Akan tetapi, pada kenyataannya masih membutuhkan perjalanan yang sangat panjang karena saat ini komunitas LGBT bahkan tidak dapat memperoleh perlindungan hukum. Pada dasarnya, cisheteropatriarki sudah sangat merasuki sistem hukum Indonesia, sehingga apabila mau memastikan perlindungan bagi komunitas LGBT kita harus benar-benar mengubah dari akarnya. Tentu saja idealnya kita ingin agar hukum dapat mengayomi semua kelompok masyarakat, akan tetapi hal ini kemungkinan membutuhkan waktu berpuluhan tahun untuk tercapai. Sementara ini, teman-teman LGBT sebaiknya memprioritaskan penerapan Keadilan Transformatif (Transformative Justice), di mana perkara diselesaikan pada tingkat komunitas tanpa menggantungkan diri pada sistem keadilan yang tidak mengayomi mereka.
DJ: Tentunya kausa ini masih harus tetap diperjuangkan, karena setiap orang memiliki hak untuk dilindungi secara hukum. Diharapkan RUU PKS dapat mengayomi semua gender. Terkait APH (Aparat Penegak Hukum), sebenarnya sudah beberapa kali dilakukan pendidikan terhadap personel tertentu yang menjadi rekan “di dalam”. Namun sering kali personel tersebut ditransfer sebelum dapat melakukan apa-apa. Pada dasarnya APH sulit sekali untuk diubah atau direformasi karena dari kekuasaan teratasnya sudah seperti itu.
Pertanyaan: Ketika terjadi kasus kekerasan seksual pada anak, bagaimana sebaiknya harus menangani kasus tersebut dan hukum apa yang dapat melindungi korban?
DJ: Langkah pertama adalah tanyakan dengan hati-hati mengenai bentuk KS yang dialami, kemudian utamakan pemulihan trauma KS terlebih dahulu. Pelaporan, bila ingin dilakukan harus didampingi sepanjang jalan. Selain bergantung pada pemerintah, harus kuatkan dari akar rumput juga.
RC: Setuju, yang penting adalah mengutamakan pemulihan korban agar sintas, kemudian baru korban dapat mencari keadilan sesuai keputusannya.
Pertanyaan: Apakah zat kimia anti-libidinal yang digunakan dalam kebiri kimia juga efektif terhadap pelaku KSA yang merupakan perempuan dewasa?
RC: Mereka mengklaim efektif juga, tetapi belum ada bukti jelas.
DJ: Tanpa memperhatikan gender pelaku, pemulihan korban tetap harus diutamakan.
RC: Sebagai pernyataan penutup saya, secara singkat dalam penanganan KS perlu diutamakan pendampingan korban dalam proses pemulihan karena kondisi sistem keadilan dan APH di negara ini tidak dapat mendukung mereka. Sebagai LSM ini menjadi PR kita untuk memfasilitasi pendidikan seks komprehensif dan pendampingan korban.
Pertanyaan: Bagi moderator yang berbasis di Bali, bagaimana kondisi KS di Bali?
M: Seperti pada daerah-daerah lain, budaya patriarki masih sangat melekat di sini. Tidak jarang korban KS, terutama yang menjadi hamil, dinikahkan dengan pelaku. Beberapa kasus lain yang terkenal antara lain dosen Unud yang memaksa mahasiswinya melakukan tindakan seksual untuk mendongkrak nilai. Kejadian ini sudah lama, tetapi baru terungkap beberapa tahun lalu. Selain itu baru-baru ini ada pula kasus yang terjadi pada pekerja seks yang seorang transpuan. Beliau tidak menerima bayaran dari klien dan malah diancam dengan kekerasan fisik. Kejadian tersebut sudah dilaporkan ke aparat, tapi tentu saja tidak ada tindak-lanjut dari pihak APH.
Pertanyaan: Kekerasan seksual pada anak yang dimaksud dalam PP terbagi menjadi dua kategori: Persetubuhan dan Tindakan Cabul. Tindakan cabul yang dimaksud juga meliputi penipuan, pemaksaan, pengancaman, dan pembujukan anak untuk melakukan tindakan cabul. Pada kenyataannya, lingkup tindakan cabul ini juga terjadi pada orang dewasa. Akan tetapi, dalam kerangka hukum saat ini justru belum mengakomodasi orang dewasa yang menjadi korban pencabulan. Bagaimana pandangan Anda mengenai ini?
DJ: Sebenarnya bujuk rayu ini juga merupakan tahapan dalam KS. Akan tetapi, tidak semua KS dapat diadili dalam sistem keadilan saat ini karena kekurangan bukti fisik, apalagi ketika tidak ada saksi. Pada akhirnya, penanganan yang dapat dilakukan harus dikembalikan ke korban dan mengutamakan pemulihannya.
Sharing (Ade Wirawan): Kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas sering terjadi di lingkungan sekolah dan perusahaan. Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya edukasi gender bagi komunitas Tuli. Selain itu dengan meningkatnya digitalisasi semakin banyak orang dapat mengakses informasi, termasuk anak-anak yang terpapar pada konten pornografi/vulgar. Konten tersebut perlu dibatasi agar mereka tidak terpikir melakukan hal itu.
DJ: Tentunya pendidikan seks komprehensif perlu disosialisasikan ke semua kalangan, termasuk komunitas disabilitas dengan mempertimbangkan aksesibilitasnya bagi mereka, LSM setempat perlu banyak berdiskusi dan berkolaborasi dengan komunitas disabilitas untuk mewujudkan ini. Terkait konten vulgar, di masa digital ini sulit dihentikan, yang penting adalah mendampingi anak atau menerapkan filter anak pada internet/aplikasi.
M: Pembatasan konten digital apabila tidak disertai dengan pendidikan seksualitas komprehensif akan jadi sia-sia.
Sharing (Angela): KS yang dialami Kostra (Komunitas Teratai Bali) yang umumnya bekerja sebagai terapis pijat cenderung berupa manipulasi atau penipuan yang dilakukan klien untuk membuat terapis menyentuh area-area tertentu. Akan tetapi, banyak teman-teman Kostra tidak tahu bahwa itu merupakan bentuk KS dan belum sepenuhnya mengenali pola-pola tersebut karena dianggapnya KS hanya pemerkosaan. Perlu dibongkar relasi kuasa yang terjadi yang menjadi cikal bakal KS.
DJ: Hal itu terjadi karena minimnya akses informasi. Dibutuhkan media edukasi yang dapat inklusif bagi kostra maupun komunitas Tuli. Pendidikan seksual juga perlu didestigmatisasi dan tidak dibuat tabu.
Pertanyaan: Mengapa advokasi KS belum mencapai daerah pelosok/pedesaan?
DJ: Benar, hal ini sangat diperlukan karena kekerasan di daerah pelosok/rural sangat tinggi, tapi korban tidak dapat melapor atau mencari bantuan hukum karena keterbatasan akses informasi, transportasi ke kota maupun jaringan komunikasi untuk menghubungi LSM/LBH. Akan tetapi, justru masih banyak daerah pelosok yang belum tersentuh jangkauan lembaga bantuan. Ini menjadi PR kita semua. Sebenarnya ini dapat dilakukan dengan menggandeng pemerinah setempat atau puskesmas daerah tersebut. Nyatanya hal ini belum dapat tercapai karena keterbatasan sumber daya.
***
Konten ini ditulis oleh Casamira Gitta (Sekretaris GSHR Udayana), yang merupakan notulen dari Webinar “Solusi Kekerasan Seksual: Kebiri Kimia atau RUU PKS?” pada tanggal 13 Februari 2021.