Tradisi Petekan: Tubuh Perempuan yang Dihormati atau Dipatuhkan?
Angela Frenzia | Feb 7, 2021 | Gender
Petekan tidak hanya dianggap sebagai upaya melestarikan warisan leluhur dalam menjaga kesakralan perkawinan, namun dianggap sebagai upaya mengurangi pemerkosaan dan hubungan seksual di luar perkawinan masyarakat Tengger.
Tidak dapat dielak, masyarakat Indonesia memiliki kedekatan yang kuat dengan tradisi adat. Sesungguhnya, adat adalah tata cara yang didasari pada nilai dan kaidah sosial. Aturan adat tersebut kemudian menjadi sebuah kebiasaan atau tradisi yang sesuai dengan sistem kepercayaan di masyarakat (Koentjaraningrat, 2004, hal. 10-11). Sayangnya, wacana maskulinitas yang mengukuhkan hirarki dan dominasi laki-laki kerap ditemukan pada aturan adat, bahkan melegitimasi dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui tradisi-tradisinya. Budaya patriarki dengan beragam wacana telah memposisikan perempuan untuk selalu menyingkir dan diam sedangkan laki-laki memiliki kesempatan untuk lebih banyak bergerak dan berbicara dalam ranah-ranah sosial. Dalam budaya patriaki, ada skema-skema pemikiran yang merupakan pembentukan relasi kekuasaan. Relasi-relasi kekuasaan tersebut dinyatakan dalam oposisi-oposisi.
Untuk melihat bagaimana pola masyarakat patriarkal dalam relasi-relasi kekuasaan, penjelasan Haryatmoko (2016) cukup dapat mengambarkannya. Dipaparkan bahwa sistem oposisi dirumuskan untuk membedakan laki-laki dan perempuan dalam organisasi masyarakat. Misalnya, berdasarkan bentuk tubuh, laki-laki dan perempuan mendapat pembagian kerja yang berbeda. Jelasnya, pembagian-pembagian kerja, moral, kepantasan dan sebagainya, ditetapkan melalui sudut pandang laki-laki dan menjadi sistem yang diberlakukan dalam masyarakat. Ketidakadilan terjadi ketika sistem oposisi biner yang telah ditetapkan oleh masyarakat tersebut, menempatkan perempuan sebagai inferior (Haryatmoko, 2016).
Mengenai konstruksi gender yang biner, sesungguhnya telah banyak dipaparkan dalam tataran yang luas. Dijelaskan bahwa masyarakat patriarkal menggunakan fakta fisiologi perempuan dan laki-laki (kromosom, anatomi, hormon), sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku “maskulin” dan “feminin”. Misalnya: Laki-laki belajar pengetahuan, perempuan menjahit, dan contoh lainnya. Hal tersebut menjelaskan mengapa pada era klasik, perempuan ditempatkan pada ranah-ranah domestik dan tidak dapat keluar dari ranah tersebut (Gamble, 2006).
Pemaparan serupa juga ditemukan pada penjelasan Mitchell mengenai psikoanalisis Freud yang dianggap merugikan posisi perempuan. Kritik mendasar diletakkan oleh Mitchell pada Freud perihal pengalaman perkembangan seksual. Ketiadaan penis diklaim Freud sebagai penyebab perempuan tumbuh menjadi individu yang pasif sehingga keberadaannya selalu diatur sedemikian rupa (Mitchell, 2000). Apabila melihat kembali ide-ide tersebut, cukup dimengerti bagimana sistem patriarkal menempatkan perempuan sebagai “yang dikelola”, melalui wacana-wacana yang ditempatkan pada tatanan ada menggunakan aturan, anjuran, atau pelarangan. Hal tersebut ditemukan pada wacana keperawanan.
Masyarakat Indonesia telah mengaitkan konsep keperawanan dengan kondisi vagina yang berselaput dara (Kirnandita, 2017). Konsep keperawanan ini diberlakukan dengan tujuan agar perempuan tidak melakukan kegiatan seksual hingga masuk ke dalam jenjang pernikahan. Ada pula anggapan masyarakat bahwa vagina berselaput dara dapat memberikan kenikmatan seksual pasangan, saat malam pertama, sehingga penting bagi perempuan untuk menjaga keperawanannya untuk suaminya kelak.
Pada wacana ini, tentu hanya perempuan yang memiliki tanggung jawab penuh menjaga perilaku seksualnya, sebab konsep perawan diletakkan pada tubuh perempuan karena berselaput dara. Dalam melestarikan paradigma keperawanan sebagai tanggung jawab perempuan yang belum menikah, tradisi adat memiliki andil yang cukup penting. Pentingnya merawat vagina agar tetap terasa perawan dipaparkan oleh Dwisetyani et al (2010:4) merupakan akibat dari reproduksi wacana yang dilakukan secara turun temurun di mana perempuan diajarkan untuk memberi pelayanan seksual yang optimal saat menikah, agar suami tidak berpaling dari mereka. Itulah mengapa perawatan tubuh dan kecantikan melalui rangkaian tradisi perawatan vagina yang komprehensif masih diterapkan hingga kini. Tidak hanya rangkaian tradisi perawatan vagina, di Indonesia ditemukan beberapa tradisi yang prosesinya ditujukan pada perempuan untuk “mengelola” perilaku seksualitas mereka salah satunya adalah tradisi pembuktian keperawanan, Petekan.
Relasi dalam Perkawinan Masyarakat Tengger
Pada dasarnya masyarakat Tengger memiliki penghargaan yang tinggi berkaitan dengan relasi perkawinan. Perkawinan ditempatkan sebagai sesuatu yang sakral sehingga tidak diperkenankan adanya poligami. Penghargaan terhadap relasi perkawinan di masyarakat Tengger itu sendiri tak lepas dari keteguhan masyarakat berpegang pada filosofi Sesanti Panca Setia. Filosofi tersebut secara umum mengajak masyarakat Tengger untuk setia pada aturan adat, pada janji, bertanggung jawab pada tiap perkataan, serta membantu sesama (Noor M. Aziz, 2011: 41).
Pemaparan-pemaparan tersebut memperlihatkan bagaimana sesungguhnya dalam relasi perkawinan, perempuan ditempatkan setara dengan laki-laki manakala masyarakat Tengger tidak mendukung atau menjalani praktik poligami. Dapat dipahami pula bahwa bagi masyarakat Tengger, perkawinan merupakan salah satu proses kehidupan yang berlandaskan janji antar pasangan untuk setia dan bertanggung jawab pada satu sama lain. Alih-alih melimpahkan tanggung jawab tersebut pada salah satu, kedua pasangan memiliki tanggung jawab yang sama besar dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.
Kepercayaan masyarakat Tengger terhadap filosofi kesetian yang diterapkan pada perkawinan, ditemukan pada laporan tertulis megenai hukum adat Tengger berjudul “Pemantauan dan Inventarisasi Perkembangan Hukum Adat Suku Tengger Di Malang”. Tertulis bahwa rasa setia seorang suami ditunjukkan dengan cara (ngayomi, ngayani, ngayemi) memberikan perlindungan, serta menciptakan suasana tenteram dan damai bagi rumah tangga mereka (Noor M. Aziz, 2011: 42). Artinya laki-laki memiliki pemahaman akan penghormatan pada perempuan yang terwujud dalam ketiga cara tersebut.
Masyarakat Tengger juga tidak memiliki kebiasaan untuk memaksakan pernikahan atau perjodohan pada anak-anak mereka. Para orang tua memberi kebebasan anak-anak mereka untuk memilih calon pasangan bahkan jika berbeda suku dan agama sekalipun (Noor M. Aziz, 2011). Kebebasan dalam memilih calon pasangan tersebut merupakan bentuk bahwa masyarakat Tengger tidak membeda-bedakan seseorang berdasarkan kasta, ras, maupun agamanya. Ini juga sesungguhnya merupakan bukti bahwa masyarakat Tengger melihat semua manusia adalah setara dan menerima keberagaman.
Petekan sebagai Penghormatan Atau Kontrol terhadap Perempuan?
Kesakralan perkawinan dan menjunjung tinggi filosofi leluhur telah memengaruhi cara pandang masyarakat Tengger terhadap persetubuhan dan atau kehamilan di luar pernikahan. Hubungan seksual dan kehamilan di luar nikah dianggap sebagai pelanggaran kepercayaan suku Tengger akan sakralnya perkawinan. Bagi Suku Tengger pelanggaran terhadap warisan leluhur tersebut dapat menghantarkan mereka pada malapetaka atau bencana. Penelitian berjudul “Tradisi Petekan dan Upaya Mencegah Kehamilan di Luar Nikah Pada Masyarakat Suku Tengger” menjabarkan bahwa petekan merupakan solusi untuk mencegah terjadinya hubungan seksual dan kehamilan di luar pernikahan dengan tujuan agar masyarakat Tengger dijauhkan dari malapetaka (Abidin, 2018).
Petekan sebenarnya berasal dari Bahasa Jawa yaitu dipetek, yang mempunyai makna ditekan. Dinamai petekan karena pada pada prosesinya perut bagian bawah perempuan ditekan-tekan oleh seorang “dukun” yang memiliki kemampuan untuk menentukan kondisi perempuan tersebut sedang hamil (di luar nikah) atau tidak dan juga untuk mendeteksi keperawanan seorang perempuan (Muhammad, 2015).
Proses Petekan. Sumber: Malang Times (2018).
Sebelumnya telah dijabarkan bahwa pola patriarkal diterapkan dalam relasi-relasi kekuasaan yang penerapannya kasat mata seperti penindasan fisik, penjajahan, penindasan ekonomi dan sosial, tetapi juga membaur dengan apik pada pelbagai unsur di masyarakat hingga kerap secara sadar atau tidak diafirmasi oleh para korbannya (Haryatmoko, 2016).
Oleh karena itu diperlukan kesadaran kritis untuk mempertanyakan sebuah gagasan, tindakan, atau wacana yang dianggap sebagai sebuah kebenaran di masyarakat. Penulis akan menilik petekan secara kritis pada data laporan tertulis, jurnal, testimoni, hingga berita di beberapa kanal digital. Penulis ingin melihat bagaimana wacana mengenai tubuh perempuan diproduksi pada tradisi petekan.
Pandangan kritis diperlukan untuk membongkar mekanisme kontrol dan mengkritisi wacana sebagai sebuah konstruksi yang dan diberlakukan sebagai sebuah praktik sosial dan digunakan kelompok dominan dengan tujuan agar dominasi tersebut dapat diterima sebagai kebenaran telak (Fairclough, 2010).
Dalam prosesinya, petekan dilakukan di rumah salah seorang warga terpilih di hari dan jam yang telah ditentukan. Tradisi ini dilakukan secara rutin setiap 3 bulan sekali dan diumumkan oleh para tetua di desa pada seluruh warga. Mereka yang wajib mengikuti tradisi ini adalah semua remaja perempuan yang belum menikah dan perempuan berstatus janda yang dianggap masih dalam usia subur. (Muhammad, 2015).
Apabila diamati lebih jeli, didapati sebuah kenyataan pahit bahwa dalam praktik tersebut, perempuan yang tidak dalam relasi pernikahaan menjadi objek kuasa dari masyarakat. Untuk memahami pola tersebut, gagasan Foucault sedikit banyak dapat menjelaskannya. Foucault (1997: 136) pada buku“Dicipline and Punish: The Birth of The Prison”, memaparkan bahwa dalam tiap masyarakat, tubuh kerap menjadi sasaran kuasa baik secara ‘anatomik-metafisik’ maupun ‘teknik politik’. Tubuh dilatih, dikoreksi, dimanipulasi menjadi patuh, bertanggung jawab dan terampil. Kuasa tersebut bertujuan mengontrol segala aktivitas tubuh tentunya, meski bentuk, sasaran, hingga ukurannya berubah-ubah.
Betul bahwa Foucault tidak menyebutkan secara lugas bahwa perempuan adalah objek kuasa. Akan tetapi, gagasan itu dapat dijadikan pijakan untuk menelisik sistem patriarki dalam mengontrol tubuh perempuan melalui praktik petekan. Bila berkiblat pada gaasan Foucault tersebut, maka jelas bahwa perempuan di Tengger (yang tidak menikah baik remaja maupun janda) menjadi sasaran pendisiplinan tubuh dan seksualitas. Pada ranah anatomik-metafisik, pendisiplinan tubuh ditemukan ketika perut perempuanlah yang ditekan-tekan, diraba-raba untuk membuktikan kondisi fisiknya masih perawan (bagi remaja putri) atau tidak mengandung (bagi janda). Sedangkan laki-laki tidak menjalani proses pembuktian tersebut. Pada ranah teknik politik, kontrol bahkan tidak perlu menyentuh tubuh secara langsung. Hal tersebut tampak pada pernyataan berikut ini:
Jika akan ada petekan, aparat desa diterjunkan untuk menjemput warganya yang berada di luar Ngadas (Narasumber Rendra Kresna via artikel JPNN: 7 Juli 2015).
Calon peserta yang berdomisili di luar kota juga turut mengikuti kegiatan tradisi petekan hal itu diwujudkan dengan menghubungi gadis yang bersangkutan melalui orang tuanya (Narasumber Ngationo via Abidin: 4 Oktober 2017).
Bagi perempuan Tengger yang masuk dalam kategori namun berada di luar desa, aparat desa tak segan-segan menjemput atau memerintahkan mereka pulang. Berdasarkan pemaparan tersebut, terlihat bagaimana pola relasi kuasa yang timpang di temukan pada prosesi petekan dengan memainkan “teknologi politis terhadap tubuh”. Cara mendisiplinkan dan menghukum tubuh tidak lagi menyentuh tubuh secara langsung melainkan mengalami perubahan sasaran, yakni menyasar pemikiran, kehendak, dan kedalaman hati seseorang yang hendak didisiplinkan. (Foucault, 1995).
Kedua nungkilan tersebut bila diamati secara jeli, terpapar jelas betapa besar kuasa aparat dan masyarakat dalam mengontrol sikap hingga tubuh perempuan Tengger bahkan yang berada di luar desa. Tanpa menyentuh tubuh, kontrol dilakukan melalui perintah hingga ancaman untuk mengikuti tradisi tersebut. Dalam praktik tersebut, patriarki sebagai pemegang kontrol melatih, memaksa, menanamkan kesadaran kepada objek kuasa untuk membentuk tubuh yang patuh menggunakan aturan-aturan dengan tujuan menaklukkan atau mematuhkan tubuh perempuan agar dapat membuktikan keperawanannya dengan mengikuti tradisi pembuktian keperawanan yaitu petekan.
Apabila diketahui perempuan tidak perawan dan atau hamil di luar nikah, maka ia akan mendapatkan sanksi sosial dan adat. Perempuan yang diketahui tidak perawan bahkan hamil di luar nikah akan didenda berupa 50 sak semen untuk keperluan desa. Setelah itu ia akan dinikahkan secara adat maupun secara agama dengan pasangannya. Apabila perempuan tersebut melakukan hubungan seksual hingga hamil dengan lelaki yang sudah menikah, maka sanksi yang diterima akan lebih berat, selain denda berupa 50-100 sak semen, perempuan tersebut akan mendapat sanksi sosial menyapu jalanan desa hingga bersih dan keluarga perempuan tersebut akan dikucilkan warga. Meski dinikahkan, perempuan tersebut harus diceraikan segera setelah ia melahirkan (Muhammad, 2015).
Pada pemaparan di atas, ditemukan pola pendisiplinan tubuh yang diterapkan dengan memberlakukan sanksi baik secara sosial maupun. Akan tetapi relasi kekuasaan memosisikan perempuan sebagai pihak yang mengalami ketidakadilan, terkhusus pada kasus perempuan yang hamil dengan laki-laki beristri. Ketidakadilan sangat tampak ketika perempuan dan laki-laki melakukan tindakan yang sama yakni hubungan seksual di luar pernikahan, namun dalam kasus tersebut, perempuan menjadi pihak yang mendapat sanksi lebih berat. Selain dipermalukan di masyarakat, perempuan harus tunduk pada keputusan masyarakat untuk dinikahkan, diceraikan, dan merawat anak tersebut sendiri sebagai bentuk hukuman. Berbanding terbalik, pihak laki-laki seolah termaafkan dengan membayar sanksi adat lalu dapat kembali pada istri pertamanya, melanjutkan rumah tangga, dan tidak perlu bertanggung jawab terhadap perempuan yang diceraikan dan anaknya tersebut.
Melalui kasus tersebut kita dapat melihat bagaimana dalam seksualitas, konstruksi sosial ada di masyarakat mengarah pada kekuatan laki-laki. Seksualitas didefinisikan oleh laki-laki dan dipaksakan pada perempuan, salah satunya dalam relasi seksual. Seksualitas dikonstruksikan sebagai hubungan hierarkis di mana laki-laki adalah yang aktif (bertindak, mengatur) sedangkan perempuan adalah pasif (sebagai penerima tindakan dan aturan). Sehingga, laki-laki dalam seksualitas tidak hanya diuntungkan dengan mendapat kenikmatan, ia juga mendapatkan bukti kepatuhan tertinggi yaitu penerimaan dan afirmasi (MacKinnon, 1987).
Penerimaan perempuan terhadap hukuman yang tidak adil, penerimaan diskriminasi terhadap dirinya dan keluarganya, serta pengakuan bahwa mereka pantas dihukum lebih atas tindakan seksual yang dilakukannya dan pasangan seksnya tersebut yang adalah bentuk kepatuhan tertinggi terhadap konstruksi seksualitas yang didominasi oleh patriarki.
Petakan tidak hanya dianggap sebagai upaya melestarikan warisan leluhur dalam menjaga kesakralan perkawinan, namun dianggap sebagai upaya mengurangi pemerkosaan dan hubungan seksual di luar perkawinan masyarakat Tengger. Hal tersebut dipaparkan oleh Bupati Malang Rendra Kresna melalui kanal berita JPNN. Lebih jauh Rendra menjelaskan bahwa dengan adanya tradisi ini, remaja perempuan akan lebih menjaga diri untuk bergaul dengan lawan jenis sehingga perempuan akan terhindar dari hal-hal yang menodai kehormatannya (Muhammad, 2015).
Apabila memahami pemaparan tersebut, tradisi peteken dianggap sebagai sebuah upaya masyarakat untuk menjaga “kehormatan” perempuan. Namun, perlu diingat kontrol terhadap tubuh dan seksualitas perempuan dilakukan melalui wacana sampai pada aturan baik tertulis maupun lisan yang diberlakukan di masyarakat. Sebagai contoh, kontrol kehamilan atau dikenal dengan konsep kontrasepsi pada abad 20 dinyatakan sebagai bentuk pembebasan kaum perempuan karena seolah mendapat hak untuk mengontrol aktivitas reproduksinya. Padahal, sesungguhnya ada kebutuhan kapitalis agar perempuan lebih produktif di pabrik-pabrik industri (Gamble, 2006).
Hal tersebut juga ditemukan pada penelitian tradisi petekan. Apabila oleh masyarakat desa, petekan adalah upaya menjaga “kesucian” perempuan dan menghindarkan mereka dari pergaulan bebas. Namun, petekan sesungguhnya adalah bentuk kontrol sosial masyarakat terhadap tubuh dan seksualitas perempuan. Alih-alih mengedukasi seluruh warga dengan pengetahuan seksualitas yang berperspektif kesetaraan gender, aturan dan hukuman dipilih untuk mengontrol seksualitas dan mematuhkan tubuh perempuan remaja juga janda-janda Tengger untuk kepentingan seluruh masyarakat Tengger. Praktik petekan, menunjukkan betapa perempuan memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk mengelola tubuhnya, seksualitasnya untuk kepentingan orang di luar dirinya, serta keberadaannya sebagai pemenuh ekspektasi-ekspektasi ideal di masyarakat.
Kesimpulan
Masyarakat Tengger memandang relasi perkawinan sebagai sebuah relasi yang sakral dan setara manakala mereka berpegang pada aturan untuk setia. Perempuan ditempatkan setara dengan laki-laki ketika upaya menjaga keharmonisan rumah tangga dan kesetian diberlakukan pada suami maupun istri. Masyarakat Tengger juga menjunjung tinggi kesetaraan dengan memberikan kesempatan yang sebebas-bebasnya pada anak-anak mereka dalam memilih pasangan, tanpa melihat ras, agama, hingga strata sosial.
Akan tetapi pada tradisi petekan, ditemukan ketimpangan. Perempuan dalam tradisi ini diposisikan sebagai objek penerima kekuasaan. Pada tradisi ini, keberadaan perempuan menjadi milik masyarakat Tengger karena dikelola sedemikan rupa hingga pada hal terintim pada tubuhnya, yaitu rahim. Secara jelas hal tersebut tampak pada prosesi di mana rahim perempuan harus ditekan-tekan untuk membuktikan bahwa dirinya masih perawan atau tidak dalam keadaan mengandung. Mereka dipaksa menaati aturan tanpa kesempatan untuk bernegosiasi. Dalam menjalankan tradisi ini, mayarakat Tengger meletakkan beban tanggung jawab sosial lebih besar pada perempuan ketimbang laki-laki, yang menjadikan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam seksualitas menjadi tidak setara.
***
Referensi
Abidin, Z. (2018). Tradisi Petekan dan Upaya Mencegah Kehamilan di Luar Nikah Pada Masyarakat Suku Tengger. De Jure: Jurnal Hukum dan Syari’ah, 10, No.2, 89-98.
Dwisetyani, H. W. (2010, Februari). Retrieved from https://paa2007.princeton.edu/papers/7131
Fairclough, N. (2010). Critical Discourse Analysis. (T. C. Edinburg, Ed.) Edinburg, United Kingdom: Longman.
Foucault, M. (1995). Disipline and Punish: The Birth of The Prison. (Second vintage Books Edition ed.). (A. Sheridan, Trans.) New York , United States: Random House, Inc.
Gamble, S. (Ed.). (2006). The Routledge Companion to Feminism and Postfeminism. London and Yew York: Routledge Taylor and Francis Group.
Haryatmoko. (2016). Membongkar Rezim Kepastian Pemikiran Kritis Post-Strukturalis. (Widiantoro, Ed.) Yogyakarta, Indonesia: PT. Kansius.
Kirnandita, P. (2017, September 20). Tirto.id Gaya Hidup. (Suhendra, Editor).
Koentjaraningrat. (2004). Kebudayaan, Mentalis dan Pembangunan . Jakarta , Indonesia: PT Gramedia Putaka Utama.
MacKinnon, C. (1987). Feminism Unmodified: Discourse on Life and Law. London, United Kindom: Cambridge Mass and Harvard University Press.
Mitchell, J. (2000). Psychoanalysis and Deminism: A Radical Reassessment of Freudian Psychoanalysis (4th edition ed.). United State of America: Pinguin Books.
Muhammad, K. (2015, Juli 07). JPNN.com features. Retrieved Desember 2019, from JPNN News.
Noor M. Aziz, A. A. (2011). Pemantauan Dan Inventarisasi Perkembangan Hukum Adat Suku Tengger Di Malang. Laporan Tertulis, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional , Jakarta.
***
Konten ini ditulis oleh Angela Frenzia Betyarini, M.A. Ia adalah alumni Program Magister Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Memiliki perhatian lebih pada isu-isu gender, seksualitas, dan kekerasan seksual. Hal itu diwujudkan melalui karya tulis dan keikutsertaan pada beberapa organisasi, salah satunya GSHR Udayana.