Diskriminasi terhadap Transpuan di Indonesia
Casamira Gitta | May 17, 2020 | Gender
Catatan: pada awal artikel ini dipaparkan kasus penganiayaan dan pembunuhan transpuan yang diduga bermuatan kebencian.
Awal April lalu, seorang transpuan bernama Mira di Cilincing dilaporkan tewas setelah dianiaya dan dibakar hidup-hidup oleh massa atas tuduhan yang tidak terbukti. Ketika kasus ini dibawa ke aparat, pembakaran yang dilakukan massa malah dinyatakan tidak disengaja dan kasus tidak dinyatakan sebagai pembunuhan. Di samping itu, 3 dari 6 pelaku masih buron dan belum ditangani.
Selain kasus penganiayaan dan pembunuhan rekan Mira, masih banyak kasus serupa yang tak tertangani dan bahkan tak terlaporkan yang terjadi. Menurut Halim (2019) dalam laporannya #HidupTransBermakna, terjadi peningkatan kasus pembunuhan transpuan dari 2014 -2019 dengan jumlah terendah 2 kasus pada 2014 dan tertinggi 6 kasus pada 2019. Perlu dicamkan bahwa kasus yang dicatat dalam laporan tersebut merupakan kasus yang terdokumentasi dan/atau terlaporkan. Pada kenyataannya, masih banyak kasus-kasus penganiayaan dan pembunuhan yang dialami transpuan, tetapi tidak terdeteksi maupun terlaporkan.
Kasus penganiayaan dan pembunuhan Mira dan transpuan lainnya menunjukkan stigma dan sentimen transfobik (kebencian terhadap transgender) yang melekat pada masyarakat dan negara. Kasus-kasus ini juga menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi hak hidup perempuan transgender di Indonesia.
Penerimaan di Keluarga
Transpuan di Indonesia menghadapi tantangan dan hambatan besar hanya untuk menjalani hidup sebagai dirinya yang seutuhnya, bahkan dari tingkat keluarga. Ketika melela (coming out) pada keluarga, tidak sedikit transpuan yang mengalami penolakan keras, bahkan diancam dikeluarkan dari KK atau diusir dari rumah. Umumnya orangtua dari seorang anak transpuan sulit memahami dan menerima anaknya karena prasangka dan stigma yang telah melekat pada benak mereka dan telah dilanggengkan melalui ekspektasi gender normatif pada tatanan masyarakat maupun negara. Selain itu, kurangnya pengetahuan mendasar mengenai identitas gender dan orientasi seksual juga menjadi faktor dalam pelanggengan stigma dan prasangka terhadap komunitas transgender.
Sejak kecil, transpuan juga mengalami perisakan dari lingkungannya karena perbedaan ekspresi dan perilaku gender yang dianggap melanggar norma ekspektasi gender. Hal ini menekan kemampuan perempuan transgender untuk dapat mengaktualisasi dirinya seutuhnya. Melati, seorang perempuan transgender, mengakui hal ini. “Saya dulu tidak diperbolehkan berdandan seperti perempuan (cis-gender)”, ujarnya. Melati juga mengatakan bahwa orangtuanya sendiri sulit menerimanya karena perisakan yang dialaminya membuat orangtuanya memandang transgender sebagai label negatif. Di samping itu, ia dipandang sebagai anak laki-laki pertama yang memiliki tanggung jawab tertentu berdasarkan normatif gender yang berlaku.
Meghan Kimoralez, anggota Yayasan Gaya Dewata yang akrab dipanggil Kimora, menanggapi bahwa hal inilah yang menyebabkan banyak transpuan yang melarikan diri dari rumah tanpa persiapan demi mencari tempat aman dan nyaman yang mau menerima mereka. Banyak dari antara mereka yang berpenampilan “maskulin” di mata masyarakat (tidak passing atau sesuai norma penampilan gender), sehingga mendapat stigma lebih dari masyarakat dan mempersulit proses pencarian kerja mereka. Alhasil, banyak transpuan yang memiliki kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga seringkali transpuan saling bahu-membahu untuk membantu sesama anggota komunitasnya.
Umumnya seorang perempuan transgender harus menunggu hingga bertahun-tahun agar keluarganya dapat menerima identitas dirinya, dan penerimaan itu tidak dapat diperoleh dengan gratis, melainkan memerlukan adanya semacam pembuktian diri secara finansial atau semacamnya. Tidak sedikit transpuan yang bekerja keras untuk menjadi tulang punggung yang menafkahi keluarganya, bahkan hingga merantau jauh untuk mencari pekerjaan. Ketika transpuan sudah sukses secara finansial dan mampu berkarya untuk keluarganya, barulah keluarga mengakui ia memiliki taraf kemampuan yang sama dengan saudara-saudaranya yang cis-gender dan heteroseksual dan patut dihargai.
Dunia Karier dan Kegiatan Keseharian
Sektor pekerjaan yang dapat dipilih seorang transpuan cenderung terbatas karena 2 faktor utama: 1) banyaknya transpuan yang terhambat pendidikannya karena perisakan; 2) stigma dan sentimen transfobik yang langgeng di masyarakat. Banyak transpuan yang melarikan diri dari rumah tidak memiliki persiapan, sehingga pada tahap awal hidupnya sulit menemukan pekerjaan yang layak dan stabil. Sebagian besar transpuan memilih untuk berwirausaha di bidang kecantikan, baik sebagai ahli rias atau membuka kursus merias hingga membuka salon sendiri. Di sektor swasta, pekerjaan transpuan umumnya terbatas pada salon atau sebagai penghibur (contoh drag queen). Lebih sedikit lagi transpuan yang bekerja sebagai PNS atau di sektor pemerintah. “Sebenarnya saya punya teman transpuan di instansi pemerintah, tetapi ia tidak dapat hidup sebagai transpuan seutuhnya karena ekspresi gendernya dibatasi oleh regulasi pemerintah. Walau demikian, ia masih dapat bertampil cukup feminin dengan gaya rambut dan riasan sederhana,” ujar Melati. Di tempat kerjanya, transpuan rentan mengalami diskriminasi karena ekspresi dan identitas gendernya.
Tentunya banyak pula yang bergabung dalam LSM, walau umumnya hal tersebut lebih berarah ke vokasi daripada pemerolehan pendapatan. Kimora sendiri tergabung dalam sebuah LSM bernama Yayasan Gaya Dewata (YGD), sebuah organisasi yang berbasis komunitas GWL (Gay, Waria, Lesbian) di Bali. YGD bergerak di bidang advokasi kesehatan seksual dari komunitas rentan melalui kegiatan penyediaan akses informasi dan layanan kesehatan serta edukasi. Sementara itu, Melati sebelumnya telah bekerja di OPSI dan beberapa LSM lainnya yang secara khusus membantu pekerja seks.
Diskriminasi, Kekerasan dan Kriminalisasi
Transpuan masih rentan terhadap tindak kekerasan, diskriminasi, dan kriminalisasi oleh masyarakat dan aparat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Melati menyatakan masih banyak rekan transpuannya yang kesulitan mencari indekos/tempat tinggal di Bali. Seringkali pemilik indekos menolak mereka untuk tinggal di tempat tersebut dengan alasan “tidak menerima transpuan”. Pekerjaan beberapa transpuan juga membuat mereka lebih rentan terhadap tindak kekerasan; Kimora menyatakan bahwa tidak lama sebelum ini, rekan-rekan transpuan yang merupakan pekerja malam dilempari batu oleh massa.
Banyak transpuan yang enggan melapor ke aparat karena kecenderungannya yang bersifat menyudutkan dan diskriminatif. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Kenapa jalan-jalan malam? Kamu ini laki-laki atau perempuan?” sering dilontarkan, sedangkan kasus tidak ditangani. Banyak transpuan yang berani melawan, tapi tindakan tersebut membuat mereka rentan untuk dikriminalisasi. Menurut Luh Anggraeni, sekretaris LBH APIK Bali, tanpa melakukan perlawanan pun, transpuan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap kriminalisasi. Hal ini disebabkan posisinya sebagai minoritas dan kerentanan sektor kerja yang dapat dipilihnya. Contohnya, ketika aparat berusaha menahan transpuan atas tuduhan menjadi pekerja seks tanpa bukti yang jelas.
Selain itu, banyak transpuan yang enggan mengajukan bantuan hukum atau menindaklanjuti secara hukum karena tidak mau kasus disorot media yang masih bias gender dan diskriminatif. Media cenderung menyudutkan dan menyoroti identitas gender atau orientasi seksual seseorang daripada perilaku dan tindakannya serta melebih-lebihkan kasus daripada kenyataannya. Representasi reduktif ini membuat konsumen media memiliki pandangan negatif dan dangkal terhadap minoritas gender dan seksualitas dan turut berperan dalam melanggengkan transfobia. Seharusnya, media dapat berperan sebagai sarana edukasi dan informasi bagi dan mengenai transpuan.
Perlindungan dalam Hukum: Adakah?
Ketidaksetaraan akses dan perlakuan dalam hukum yang dialami oleh transpuan seharusnya tidak terjadi, karena kesetaraan pada dasarnya merupakan nilai yang digaungkan dalam berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional. Di pasal 7 Deklarasi Universal HAM, dinyatakan bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Walaupun bukan merupakan treaty dan tidak membebankan pertanggungjawaban hukum pada negara, deklarasi ini merupakan nilai-nilai dasar yang dipercayai setiap anggota komunitas internasional dan memiliki peran penting dalam pengembangan hukum HAM internasional. Nilai-nilai ini pun digaungkan dalam pasal 27 ayat 1 (kesamaan kedudukan semua warga negara dalam hukum dan pemerintahan) serta pasal 28 ayat 1 UUD 1945 (hak hidup, tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan beragama, tidak diperbudak). Demikian pula dinyatakan dalam UU HAM no. 39 tahun 1999, yang juga secara khusus menyebutkan diperlukannya jaminan hak dan perlindungan bagi masyarakat, terutama masyarakat rentan.
Transpuan juga sudah seharusnya memiliki akses terhadap pelayanan hukum tanpa diskriminasi, sesuai yang dinyatakan pada pasal 17 UU HAM dan pasal 18 UU HAM mengenai hak memperoleh keadilan dalam proses hukum. Dapat diargumentasikan pula bahwa sebagai minoritas gender, transpuan merupakan korban dari kekerasan berbasis gender yang seharusnya dihapuskan sesuai yang dinyatakan pada ayat 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan PBB (1993).
Walaupun sudah ada semacam rangka konstitusional dan fondasi nilai universal yang dapat digunakan untuk memperjuangkan kesetaraan secara umum, pada kenyataannya perlindungan terhadap transpuan akan sulit tercapai tanpa kerangka hukum yang jelas dan spesifik. Secara sederhana, tindakan kekerasan dan diskriminatif yang dilakukan terhadap transpuan tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum karena ketiadaan payung hukum yang jelas untuk melindungi transpuan. Transpuan sebagai kelompok masyarakat bahkan tidak diakui keberadaannya dalam ranah hukum. Alhasil, upaya advokasi hukum pun sulit untuk dilakukan karena ketiadaan instrumen hukum yang definitif, sehingga cenderung terbatas pada fasilitasi ODHA, mediasi isu KDRT, dan pembelaan terhadap kriminalisasi.
***
Konten ini ditulis oleh Casamira Gitta (Sekretaris GSHR Udayana), yang merupakan hasil notulensi Talkshow “Transpuan, Sudahkah Kita Setara?” dalam rangkaian acara Women’s March Bali 2020: Pre-Event yang diadakan pada 8 Maret 2020 di Rumah Sanur Creative Hub.
Untuk mengunduh file Laporan Kegiatan Women’s March Bali 2020, silakan klik di sini.
Trackbacks/Pingbacks