Pembedahan Peran Gender secara Historis

Casamira Gitta | May 16, 2020 | Gender
Peran gender merupakan peran sosial, yang berarti ia merupakan konstruksi yang dihasilkan masyarakat, dan dapat bervariasi dari waktu dan tempat karena dipengaruhi kebutuhan sosial dan budaya tiap masyarakat.

Peran Gender

Peran gender atau seks merupakan seperangkat perilaku, sikap, perasaan, dan persepsi yang umumnya lebih diasosiasikan dengan satu jenis kelamin dari yang lain. Dalam kata lain, ia merupakan ekspektasi masyarakat terhadap seseorang berdasarkan gender atau jenis kelamin yang dimiliki orang tersebut (Eagly dkk. 2010 dalam Levesque, 2011).

Konseptualisasi peran gender secara tradisional umumnya berkisar pada konsepsi femininitas dan maskulinitas, walau pada beberapa peradaban dapat melampaui keduanya (androgini atau variasi lain). Peran gender laki-laki cenderung diasosiasikan dengan perilaku agentik (memiliki agensi) dan ciri-ciri seperti kemandirian, ketegasan, dan dominansi. Sementara itu, peran gender perempuan cendeung diasosiasikan dengan perilaku ekspresif dan ciri yang mencerminkan sensitivitas terhadap sesama serta komunalitas (Bem 1974 dalam Levesque, 2011; Basow, 2011).

Peran gender merupakan peran sosial, yang berarti ia merupakan konstruksi yang dihasilkan masyarakat, dan dapat bervariasi dari waktu dan tempat karena dipengaruhi kebutuhan sosial dan budaya tiap masyarakat. Oleh sebab itu, peran gender pun juga dapat berubah seiring dengan perkembangan sosial budaya suatu masyarakat dan tidak bersifat statis (Basow, 2011).

Sejarah dan Asal Usul Pembagian Kerja Berbasis Gender

A. Peran Gender Pra Sejarah dan Lahirnya Patriarki

Pembagian kerja berbasis gender/peran gender diduga muncul pertama kali sejak manusia mulai membentuk semacam peradaban.

Sistem pembagian ini didasarkan dua faktor:

  1. Dasar pemenuhan budaya.
  2. Karakteristik biologi seks (perempuan melahirkan).

Karena dua faktor ini, secara historis perempuan memiliki tugas utama sebagai pembesar anak (child bearer), sehingga pekerjaan lain yang ditugaskan pada perempuan cenderung berkisar pada tugas utama tersebut atau setidaknya tidak jauh darinya.

Munculnya pembagian peran gender dimulai pada masa peradaban pemburu-pengumpul (hunter-gatherer society). Pada masa ini, pembagian kerja kurang lebih cukup setara karena kedua pekerjaan memiliki derajat kepentingan yang sama (memperoleh makanan). Di sini pembagian kerja sebagai berikut:

  1. Perempuan: pengumpul (buah-buahan, beri, dan tumbuhan lain yang dapat dimakan) dan merawat anak.
  2. Laki-laki: pemburu (mengejar hewan dan membunuhnya untuk dimakan).

Selain itu, karena metode pengumpulan dianggap lebih stabil, terdapat dugaan bahwa perempuan pada masa itu memiliki status sosial yang kurang lebih setara dengan laki-laki. Hal ini berubah ketika manusia memasuki transisi dari pola hidup mereka sebagai pemburu-pengumpul menjadi bercocok tanam dan domestifikasi hewan; transisi ini cenderung dikenal sebagai ‘Revolusi Agrikultur’ atau ‘Revolusi Neolitik’, sesuai dengan zaman di mana ia terjadi. Pada zaman inilah diduga dimulainya diadopsi norma dan paham patriarki.

Perempuan dapat dikatakan mengalami penurunan ‘kepentingan’ status sosial karena berkurangnya perannya dalam pekerjaan, yang kini didominansi oleh laki-laki. Perempuan yang sebelumnya menjadi penyedia kini hanya menjadi pengolah dan ‘pembantu’ laki-laki yang kini mampu menyediakan makanan yang lebih stabil melalui bercocok tanam. Ditambah dengan kesibukannya merawat anak, perempuan kehilangan kesempatan dalam berpartisipasi dalam kehidupan sosial perkumpulannya.

Walau demikian, tentunya tidak seluruh peradaban berkembang dan bertransisi ke arah yang sama, tidak semua peradaban mengadopsi pola hidup agrikultur dan tidak semua manusia berada dalam ‘peradaban’ tertentu. Kelompok penggembala nomad di Asia Tengah, misalnya, merupakan salah satu contoh peradaban yang tidak mengikuti perkembangan ini. Selain itu, juga terdapat berbagai kelompok lain seperti suku-suku asli Amerika Utara (indigenous tribes) yang menggabungkan pemburuan dan sistem tanam ‘potong-bakar’ (slash-and-burn).

Perempuan pun turut mengalami penurunan fungsi ekonomis di masyarakat demikian, karena terjadinya transisi pengumpul ke penggembala sebagai pemasok makanan utama, yang tentunya diserahkan ke kaum laki-laki. Hal ini pun turut memunculkan paham akan inferioritas perempuan, sehingga kebanyakan masyarakat nomad pun masih melanggengkan sistem patriarki dalam tatanan mereka. Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian pada beberapa masyarakat nomad yang menghindari penerapan patriarki seutuhnya, maupun pada kelompok pemburu yang mempertahankan peran ekonomis kuat bagi perempuan. Peran yang diberikan kepada kedua gender cenderung bersifat distinktif – misal, laki-laki dianggap memiliki tanggung jawab khusus dalam peperangan atau kemampuan sebagai penunggang kuda – tetapi peran-peran ini dianggap setara, dan masyarakat-masyarakat ini tidak menetapkan ketidaksetaraan sistematis yang menjadi kekhasan peradaban pada umumnya (Nearns, 2006).

B. Peran Gender Era Klasik

Perkembangan agrikultur memampukan manusia untuk memiliki pasokan makanan yang relatif stabil serta sejumlah besar waktu luang yang ia manfaatkan untuk membangun tatanan masyarakatnya menjelajahi dunia. Pada era klasik ini, manusia kini memiliki tatanan pemerintahan yang lebih jelas dengan kelompok penguasa elit (monarki/aristokrasi) serta mengembangkan berbagai ideologi dan paham-paham untuk mengatur tatanan tersebut. Paham-paham atau ideologi yang dikembangkan peradaban ini turut berkontribusi dalam menciptakan dan menuntut penerapan dari peran dan pembagian kerja gender. Tiga peradaban utama yang sangat melanggengkan patriarki di era ini adalah: Peradaban Cina kuno, Mediterrania (Yunani dan Romawi), dan India kuno.

Peradaban Cina yang saat itu dikuasai oleh sistem kekaisaran dinasti memegang paham Konfusianisme, yang sangat memprioritaskan keberadaan hierarki dan tatanan, sehingga sangat melanggengkan patriarki. Perempuan dituntut untuk menjadi submisif dan taat pada suaminya, memfokuskan dirinya pada pekerjaan domestik dan menghasilkan anak laki-laki. Perempuan juga dituntut untuk mendevosikan dirinya pada pekerjaan tersebut, dan bersifat rendah hati dan mengetahui posisinya dalam masyarakat. Sementara itu, laki-laki ditempatkan layaknya kaisar di rumah tangganya, yaitu sebagai penguasa dan kepala rumah tangga (Nearns, 2006).

Peradaban India kuno juga memandang perempuan sebagai inferior, cenderung terdapat paham bahwa perempuan dapat direinkarnasikan menjadi laki-laki di kehidupan berikutnya apabila ia menjalani hidup yang pantas sebagai perempuan, dan bahwa hal ini diperlukan untuk berkembang secara spiritual. Perempuan berperan sebagai pelayan bagi laki-laki dalam hidupnya, baik ayah maupun suaminya saat ia menikah. Walau demikian, peradaban ini menghargai kecerdasan atau kecantikan perempuan dan tidak sepenuhnya membatasi peran perempuan di ranah domestik.

Pada peradaban Mediterrania, penekanan rasionalitas dalam filsafat dan sains dapat dikatakan meluncurkan tradisi pembedaan konstruksi ciri gender: laki-laki yang intelektual serta perempuan yang emosional dan memiliki daya intelektual yang lebih rendah. Pemikir Yunani menekankan bahwa perempuan harus diperlakukan dengan baik, karena perannya yang dianggap lebih inferior dan cenderung terbatas pada ranah domestik. Peran-peran publik dan atletik hanya dibatasi pada laki-laki. Walau demikian, seiring era Hellenistik, perempuan mampu berpartisipasi dalam kebudayaan dan perdagangan (dengan pendamping laki-laki) (Nearns, 2006).

C. Peran Gender di Masa Kini

Perkembangan perdagangan kemudian diikuti dengan perkembangan industri yang diluncurkan oleh penemuan mesin uap pada abad ke-18 dan dilanjutkan dengan kedua perang dunia. Seiringan dengan perkembangan zaman dan sebagai hasil dari pergerakan emansipasi perempuan, perempuan pun memperoleh lebih banyak kesempatan ekonomi dan mampu bekerja di luar ranah domestik. Peran perempuan tentunya masih tidak lepas dari perawat dan penghasil anak serta pekerja rumah tangga, tetapi kini ia juga dapat bekerja di tempat yang sama dengan laki-laki.

Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bagi setiap peradaban atau negara dunia, karena peran gender selain bervariasi secara temporal juga secara spasial karena perbedaan prioritas kebutuhan, kebudayaan, serta ideologi yang dianut suatu masyarakat. Tentunya masih terdapat masyarakat yang membatasi peran perempuan di ranah domestik dan penghasil tenaga kerja. Masih banyak perempuan yang tidak diberikan kesempatan pendidikan karena dianggap tidak sesuai perannya dalam masyarakat. Ada pula yang mempekerjakan anak perempuannya, tetapi menyekolahkan anak laki-lakinya karena laki-laki yang dianggap perlu memiliki pekerjaan berstatus tinggi.

Peran Gender, Ketidaksetaraan Gender dan Kesehatan Mental

Peran gender memang ditetapkan sebagai metode pembagian kerja dalam masyarakat yang terus dilanggengkan seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, nyatanya peran gender dapat memiliki dampak negatif terhadap perempuan maupun laki-laki dalam masyarakat.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pembagian peran gender sangat berhubungan dengan munculnya ketidaksetaraan gender. Pembagian peran gender yang tidak setara atau lebih mementingkan laki-laki dalam tatanan ekonomi dan sosialnya dapat memunculkan paham bahwa perempuan memiliki derajat atau status sosial yang lebih rendah daripada laki-laki, sehingga menempatkannya sebagai prioritas nomor dua dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan yang tentunya masih didominansi laki-laki. Hal ini memunculkan ketidaksetaraan sistematis karena tatanan masyarakat yang mementingkan laki-laki pada saat yang bersamaan, dapat meminggirkan perempuan.

Selain itu, pemaksaan penerapan peran gender berserta norma-normanya menghambat pertumbuhan individual secara kognitif karena dibatasi potensinya (misal laki-laki tidak boleh menjadi penari karena merupakan pekerjaan perempuan atau perempuan tidak usah menjadi insinyur karena merupakan pekerjaan laki-laki) dan secara afektif dengan mendorong berkembangnya perilaku tidak sehat pada kedua gender (agresivitas pada laki-laki, overemosionalitas pada perempuan dst.) maupun menghambat berkembangnya perilaku sehat pada kedua gender, seperti mengekspresikan perasaannya dengan sehat. Pembatasan potensi dan pengembangan diri ini dapat mengganggu kesehatan mental seseorang serta hubungan interpersonalnya (Lips, 2008).

Peran gender merupakan ‘warisan’ manusia sejak zaman prasejarah yang telah berkembang dan dilanggengkan oleh masyarakat hingga sudah terintegrasikan dengan paham dan budaya berbagai bangsa, sehingga tentunya sulit dihapuskan. Akan tetapi, peran gender merupakan peran sosial, yang berarti ia merupakan entitas dinamis yang dapat berkembang dan berubah sesuai dengan pergeseran prioritas dan norma yang terjadi seiring dengan perkembangan zaman. Karena ia merupakan peran sosial, ada pula kemungkinan ketika ia dapat tidak berada lagi ketika sudah tidak dibutuhkan masyarakat.

***

Catatan Kaki

Basow, S. A. Gender Role and Identity. Encyclopedia of Adolescence, pp. 1142-1145. doi:10.1007/978-14419-1695-2_676

Levesque, R. J. R. (2011). Sex Roles and Gender Roles. Encyclopedia of Adolescence, 2622-2623. doi:10.1007/978-1-4419-1695-2_602

Lips, H. (2008). Sex and Gender (pp. 387-388). New York, USA: McGraw-Hill.

Nearns, P. (2006). Gender in World History. Cetakan ke-2. New York: Routledge.

***

Konten ini ditulis oleh Casamira Gitta (Sekretaris GSHR Udayana), disadur dari materi dan hasil diskusi Nongki #6: Pembedahan Peran Gender secara Historis pada tanggal 2 Februari 2019. Untuk mengakses materi Nongki ini, silakan klik di sini.

Want to Write for Us?

Share This