Apa yang Salah dengan Maskulinitas Hari Ini?
Dalam masyarakat patriarki, jika diamati di permukaan, jelas sekali terlihat opresi-opresi yang dirasakan oleh perempuan dalam kesehariannya. Akses perempuan terhadap pilihan-pilihan yang ada menjadi sangat terbatas dan menjadikan perempuan terperangkap di dalam ruang yang gelap. Namun bagaimana dengan laki-laki?
Januari lalu, Gillette merilis iklan yang diberi judul “We Believe: The Best Man Can Be” di kanal Youtube resminya. Di dalam iklan tersebut, Gillette menyoroti isu #MeToo dan kondisi masyarakat yang sering menormalisasi perilaku agresif dan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki dan menjustifikasinya sebagai perilaku yang datang dari sifat alami laki-laki. Per tanggal artikel ini ditulis, iklan tersebut sudah ditonton sebanyak lebih dari 30 juta kali dan tidak disukai oleh 1,4 juta pengguna. Reaksi dan komentar yang didapat dari ‘kampanye’ tersebut pun beragam; ada yang tersinggung dan ada yang menilai hal tersebut merupakan langkah berani untuk mengkritik maskulinitas toksik laki-laki saat ini. Kira-kira apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa banyak respons negatif dilontarkan kepada iklan ini? Benarkah maskulinitas laki-laki hari ini sudah sangat rapuh?
Dalam masyarakat patriarki, jika diamati di permukaan, jelas sekali terlihat opresi-opresi yang dirasakan oleh perempuan dalam kesehariannya. Akses perempuan terhadap pilihan-pilihan yang ada menjadi sangat terbatas dan menjadikan perempuan terperangkap di dalam ruang yang gelap. Namun bagaimana dengan laki-laki? Apakah betul dengan segala privilege yang dipangku oleh laki-laki, lantas mereka ‘diuntungkan’ dalam seluruh aspek?
Laki-laki secara hierarki politik dan sosial memang duduk di posisi yang tinggi. Namun sayangnya, dengan segala sifat dan stereotip yang diasosiasikan kepada laki-laki, laki-laki dituntut berlaku sesuai dengan standar yang cukup toksik dan mengkhawatirkan. Sifat kuat, dominan dan rasional yang ditempelkan pada ciri maskulin ternyata berdampak buruk bagi kesehatan mental laki-laki. Misalnya, laki-laki dinilai tidak maskulin jika ia menangis; karena ia dianggap tidak kuat dan berpikir irasional. Padahal, menangis merupakan bagian alami dari manusia dan tidak ada yang salah dari hal itu.
Manifestasi maskulinitas hari ini semakin beragam dan kian memaksa laki-laki untuk pantas duduk pada standar yang telah terkonstruksi. Ada dua pilihan yang harus dipilih laki-laki terkait dengan standar-standar tersebut, yaitu duduk manis di atas standar tersebut atau mendapatkan sanksi sosial karena tak berhasil bersandar pada standar-standar yang ada. Shannon dalam artikelnya, Feminism and Mental Health yang dirilis melalui situs Kelty Mental Health Resource Centre, menyatakan bahwa laki-laki memiliki isu kesehatan mental yang mengkhawatirkan. Di kehidupan sosio-kultural yang patriarkis, laki-laki diajarkan untuk tidak menunjukkan sisi emosinya. Hal ini dibuktikan dengan pengasosiasian masyarakat terhadap ekspresi emosi sebagai kelemahan atau bagian dari femininitas dan tidak seharusnya dimiliki oleh laki-laki. Meskipun perempuan lebih banyak didiagnosis depresi, justru angka bunuh diri pada laki-laki masih lebih tinggi karena keengganannya mencari bantuan profesional. Laki-laki juga memiliki tendensi tinggi menyalahgunakan zat berbahaya; karena merehatkan diri dengan alkohol atau obat-obatan lainnya dinilai lebih diterima secara sosial daripada mencari bantuan profesional.
Feminisme bagi Kesehatan Mental Laki-laki
Disadur dari American Psychological Association (2019), maskulinitas toksik atau maskulinitas tradisional ditandai dengan perilaku menahan emosi atau menyembunyikan kesulitan dan menganggap kekerasan sebagai indikator kekuatan. Maskulinitas toksik hadir dan terlegitimasi dalam budaya patriarki yang masih membagi peran gender secara biner. Dalam kondisi tersebut, kebanyakan laki-laki secara tidak sadar berpacu pada peran gender tradisional; laki-laki harus dominan, kuat, independen, dan tidak emosional. Oleh sebab itu, ketika laki-laki memiliki masalah, mereka lebih memilih untuk menumpuk bebannya sendiri daripada bercerita kepada orang di sekitarnya atau konselor profesional. Hal tersebut menjadi mengkhawatirkan karena beban tersebut dapat termanifestasi menjadi kemarahan, perilaku agresif, penyalahgunaan zat, dan gangguan kepribadian antisosial.
Untuk menyelesaikan isu kesehatan mental seperti ini, perspektif feminis sangat dibutuhkan untuk menjadi alat analisis yang struktural. Penting untuk diketahui bahwa feminisme bukan hanya berusaha untuk menguntungkan perempuan, namun feminisme memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana patriarki mengekspektasikan gender dan perannya menjadi biner, yaitu laki-laki dan perempuan. Baik pasien dan penyedia layanan kesehatan mental diharapkan mempertimbangkan bagaimana ketidaksetaraan gender memengaruhi kesehatan mental masing-masing gender. Melalui feminisme, laki-laki secara perlahan dapat menghapuskan stereotip yang ada di masyarakat, sehingga laki-laki dapat mengakses bantuan psikologis maupun sosial tanpa harus merasa tidak maskulin. Dalam konteks yang lebih luas, feminisme juga dapat merekonstruksi standar maskulinitas tradisional dengan menyediakan pilihan-pilihan alternatif selain pilihan arus utama yang ada, seperti laki-laki tidak harus menikah jika kondisi finansial dan psikologisnya belum siap atau laki-laki dapat mengurus pekerjaan domestik jika diinginkan. Saat ini, maskulinitas perlu untuk direkonstruksi menjadi lebih fleksibel, tidak kaku dan tidak mudah rapuh. Ajarkan dirimu, teman laki-lakimu dan anak laki-lakimu untuk lepas dari standar maskulin tradisional yang membahayakan.
Menjadi rentan bukanlah hal yang buruk maupun memalukan. Mengakui kerentanan diri bukan berarti menunjukkan kelemahan, namun berarti menerima kenyataan bahwa manusia tidak lepas dari kekurangan. Menerima kerentanan diri dapat meringankan permasalahan dan beban yang dipikul selama ini. Laki-laki boleh gagal, ragu, mengalami ketakutan dan patah hati, menangis, dan tidak ada yang salah dari hal itu. Mengabaikan dan menekan perasaan yang laki-laki miliki bukan hanya tidak baik untuk kesehatan mental, namun menghambat proses perkembangannya menjadi manusia yang lebih baik.
***
Catatan Kaki
Jackson, D. A. & King, A. R. (2004). Gender differences in the effects of oppositional behavior on teacher ratings of ADHD symptoms. J Abnorm Child Psychol, 32(2):215-24.
Kessler, R. C. & Wang, P. S. (2008). The descriptive epidemiology of commonly occurring mental disorders in the United States. Annu Rev Public Health, 29:115-29.
Merikangas, K. R., He, J. P., Burstein, M., dkk. (2010). Lifetime prevalence of mental disorders in U.S. adolescents: results from the National Comorbidity Survey Replication–Adolescent Supplement (NCS-A). J Am Acad Child Adolesc Psychiatry, 49(10):980-9.
Simon, R. W. (2007). Contributions of the sociology of mental health for understanding the social antecedents, social regulation, and social distribution of emotion. Mental Health, Social Mirror, pp. 239-274. New York: Springer.
***
Konten ini ditulis oleh Rickdy Vanduwin. Ia adalah seorang penulis dan ketua Resource Center on Gender, Sexuality and Human Rights Studies Udayana (GSHR Udayana). Ketika tidak menulis, ia menghabiskan waktunya membuat kolase digital dan menonton film. Temukan ia di sini.