Menengok Inul Daratista, Melihat Via Vallen Berkoplo: Tubuh Perempuan dan Budaya Popular di Indonesia

Rewina Ika | Jan 14, 2019 | Sexuality
Telah menjadi wacana lama bahwa dangdut seringkali diserang dari berbagai sisi sebagai musik orang-orang kelas menengah ke bawah. Mengacu pada Weintraub (2012), dangdut bahkan selalu diidentikan sebagai musik atau pertunjukan konsumsi pembantu rumah tangga.
Perempuan muda bernyanyi dengan penuh percaya diri di atas panggung megah dalam acara ulang tahun salah satu televisi swasta besar di Indonesia. Tabuhan kendang khas dangdut koplo dipasangkan dengan aransemen musik orkestra dan panggung dipenuhi oleh penari latar. Penonton dari kalangan selebriti dan pasangan duet yang mengambil alih bagian rap dalam lagu yang selalu dinyanyikannya hanya seorang diri. Via Vallen tampil di atas panggung membawakan lagu Sayang dengan pakaian khas idola Korea, tanpa goyang ngebor dan goyangan-goyangan dangdut yang lainnya. Hal ini akan berbeda ketika kita mengingat banyak studi mengenai dangdut sebagai bagian dari budaya pop di Indonesia pada awal reformasi. Inul Daratista dan Rhoma Irama adalah dua bagian tidak terpisahkan ketika harus mengambil kajian mengenai dinamika musik dangdut di Indonesia. Inul dan Rhoma ketika itu bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda namun selalu melekat. Jika tidak memperbincangkan Inul dan Rhoma secara terpisah sebagai individu yang memiliki aktivitas dangdutnya masing-masing, maka diskusi mengenai dangdut akan mengarah pada bagaimana Inul dan Rhoma dikonfrontasikan satu sama lain. Rhoma Irama dengan budaya bermusik dangdut yang disebut ‘lebih adiluhung’ dan Inul Daratista sebagai seniman dangdut yang ‘tidak senonoh’, sembrono, dan melanggar batas-matas moralitas mana yang layak dipertontonkan di hadapan publik dan mana yang tidak.

Telah menjadi wacana lama bahwa dangdut seringkali diserang dari berbagai sisi sebagai musik orang-orang kelas menengah ke bawah. Mengacu pada Weintraub (2012), dangdut bahkan selalu diidentikan sebagai musik atau pertunjukan konsumsi pembantu rumah tangga. Upaya banyak televisi swasta mengemas musik dangdut ke dalam panggung yang lebih megah daripada panggung pernikahan dan orkes melayu kampung pun pada saat itu masih dianggap segmen program televisi yang menyuguhkan hiburan bagi kelas pekerja. Selain itu, jika penyanyi dangdut itu adalah perempuan, maka musik dangdut hampir selalu dikaitkan dengan seksualitas penyanyinya ketika sedang melakukan sebuah aksi panggung (Bader, 2011: 338). Jika Inul Daratista ketika itu selalu dipertentangkan dengan persoalan pornografi dan pornoaksi lantaran pakaian dan aksi panggung yang dianggap mempertontonkan seksualitas, maka lain halnya dengan Via Vallen. Nasib Via Vallen seakan lebih beruntung dibandingkan Inul Daratista yang seringkali dihadapkan kepada gugatan-gugatan seksualitas atas aktivitas dangdut yang dilakukannya. Melekatnya gaya panggung Via Vallen yang hampir tanpa goyangan ‘erotis’ dan gaya berpakaian yang identik dengan grup idola ala Korea membuat Via Vallen lebih dapat diterima. Belum lagi perbedaan konten lagu yang diangkat oleh keduanya. Jika kita mengingat lirik lagu Dikocok-kocok, akan sangat berbeda dengan lirik yang memuat perasan sehari-hari kehidupan remaja ketimbang lirik lagu Inul Daratista yang kerap dihujani tuduhan mengandung pesan erotis di dalamnya. Namun, apakah kemudian perbedaan yang diciptakan oleh Via Vallen tersebut membuat musik dangdut terbukti lebih dapat diterima dengan mudah dan mengalami kenaikan kelas sosial karena terjadinya difersivikasi kelas sosial yang menjadi konsumen musiknya?

Berangkat dari keresahan tersebut, dalam tulisan ini saya mencoba mengangkat bagaimana tubuh menjadi persoalan yang seringkali mengambil porsi cukup banyak—baik dangdut yang dipandang sebagai satu kesatuan pertunjukan maupun aksi panggung para penyanyinya. Ketika kembali diminta mengingat bagaimana dinamika Inul Daratista bermusik sejak tahun 2000-an, tubuh seorang penyanyi dangut adalah permasalahan besarnya. Tubuh menjadi bagian dari aksi panggung yang akan sangat politis. Ketika itu Inul diserang oleh berbagai pihak yang meletakkan kebangkitan agama atau meminjam istilah Hefner (2010) sebagai religious resurgence dalam pertentangan antara ketakwaan moral bebasis agama dan bagaimana industri hiburan dapat merusak bangunan moral yang semakin tidak kokoh oleh daya destruktif sebuah pertunjukan musik dangdut bergerakan dan berlirik erotis (Heryanto, 2015: 38).

Inul pun menjadi penyanyi yang tetap mengalami nasib dihujani celaan ‘tidak pantas’ untuk memertontonkan goyang ngebor andalannya dan lagu-lagu yang memiiki lirik serupa dengan lagunya yang berjudul Dikocok-kocok. Ketika itu Inul Daratista dianggap melakukan sebuah upaya transgresi—sebuah tindakan yang jika mengacu pada Jenks (2003), transgresi adalah sebuah bentuk atau segala upaya untuk berusaha melewati batas. Sehingga, transgresi lebih merupakan kondisi di mana ada batas-batas yang dilanggar. Pelanggaran tersebut menghasilkan perasaan bersalah, berdosa, tidak disiplin, dan dianggap tidak normal. Melakukan transgresi berarti melakukan pelanggaran. Melakukan pelanggaran di sini berarti seseorang telah melampaui batas yang telah dibuat sebelumnya. Maka, yang terlihat kemudian adalah norma agama, moral-moral yang menggiring kepada tindakan-tindakan yang tidak mendekati urusan apapun yang dianggap asusila. Begitu jelas bahwa apa yang dialami oleh Inul Daratista pada awal tahun 2000-an adalah bagaimana tubuh perempuan dalam musik dangdut dikonstruksi sedemikian rupa sebagai simbol ketidakpantasan di muka umum untuk dipertontonkan.

Tentu saja, nasib tersebut hampir tidak pernah dipersoalkan pada penyanyi dangdut laki-laki. Mereka yang menjadi penyanyi dangdut laki-laki hampir tidak pernah bergoyang—apalagi memiliki sebuah gerakan dangdut yang dilabeli erotis dan merusak ‘moral’. Menarik ketika kita melihat kembali pada apa yang berhasil ditimbulkan oleh Inul Daratista ketika aksi panggungnya dipermasalahkan oleh Majelis Ulama Indonesia—dengan Rhoma Irama yang berdiri satu garis sejajar untuk mengambil posisi mengkonfrontasi aksi panggung Inul Daratista. Saat itu, Inul dan goyang ngebornya bahkan berhasil melahirkan sebuah RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang digawangi oleh Rhoma Irama dan Organisasi Kemasyarakatan yang turut berada di posisi oposisi aksi panggung Inul. Secara tegas, persoalan yang dihadapi oleh Inul saat itu adalah bagaimana tubuh dipandang dengan menggunakan banyak justifikasi moralitas. Dalih mengembalikan moralitas penyanyi dangdut perempuan menjadi suara-suara sumbang yang digaungkan ketika itu. Lantas bagaimana dengan Via Vallen? Apakah kemudian ia terbebas dari upaya pengobok-obokan kebebasan memiliki tubuh dalam praktik bermusiknya dengan mendasarkan diri pada gaya berpakaian dan aksi panggung yang disebut mengembalikan harga diri musik dangdut tersebut? Tidak juga.

Via Vallen justru tampak ‘dinaturalisasi’ menjadi bagian dari konsumen bukan kelas pekerja untuk kemudian musiknya dapat diterima dan dinikmati oleh kalangan-kalangan kelas menengah ke atas. Sebut saja bagaimana Via melakukan aksi panggung dalam perhelatan Asian Games 2018. Belum lagi bagaimana Via Vallen tampil di acara ulang tahun salah satu televisi swasta dengan konsep orkestra dan penari latar yang berpenampilan—sungguh luar biasa dari bagaimana dangdut biasa disuguhkan dalam panggung megah acara ajang pencarian bakat dangdut televisi lain yang tidak kalah megahnya sekalipun. Hal ini membawa kita bertemu kembali pada pertanyaan yang sempat saya lemparkan paling awal, yaitu apakah kemudian dangdut telah dapat diterima dan tidak mendapatkan labelisasi budaya pasar dan kelas menengah ke bawah lagi? Secara tegas, jawabannya adalah tidak. Mari lihat pada berbagai macam alasan yang diberikan mengapa Via Vallen menjadi dieluh-leluhkan. Jika jawabannya adalah karena gaya berpakaian yang dipilih Via tidak mempertontonkan keerotisan dan dianggap ‘sopan’, maka diskusi Via Vallen tetap berkisar pada persoalan bagaimana tubuh perempuan dikonstruksikan dalam budaya populer dan tidak membuat kita beranjak ke mana-mana. Bahwa studi mengenai dangdut sebagai budaya populer masih berkisar pada bagaimana tubuh dipersoalkan.

Namun, menegaskan kembali bagaimana Via Vallen tampak dapat melakukan sebuah upaya migrasi kelas dari dangdut pasar menuju panggung dangdut dengan iringan musik orkestra adalah persoalan yang sedikit lain. Maka kemudian tubuh bukan perkara satu-satunya yang lahir dari aksi dangdut dan budaya populer. Melainkan konstruksi tubuh kemudian melahirkan bagaimana batas dibentuk secara lebih tegas dan dipaksa untuk semakin menguat. Batas yang dimaksud di sini tentu saja adalah persoalan moralitas yang menyoal aksi panggung dangdut erotik yang tidak lagi dibawakan oleh Via Vallen dalam aktivitas pertunjukan dangdut yang dibawakannya. Sehingga, hal tersebut menampilkan Via Vallen harus melawan batas transgresi moral unuk kemudian memenuhi bagaimana tuntutan dan batas-batas moralitas yang diinginkan oleh kalangan menengah ke atas agar dapat tetap menikmati Via bernyanyi. Aransemen musik yang megah dan suasana panggung yag magis cukup menjelaskan bagaimana kemudian Via harus melakukan negosiasi batas—yang kemudian menimulkan sebuah upaya kenaikan kelas sosial musik dangdut yang melekat dalam dirinya. Via Vallen, seorang idola baru musik dangdut dengan luasan pasar yang multilevel strata sosialnya.

Sehingga, otoritas tubuh tentu masih belum dimiliki sepenuhnya oleh dangdut arus baru yang dibawakan oleh Via Vallen meskipun jangkauan pasar tidak lagi hanya horizontal, tetapi juga vertikal. Perempuan masih menjadi objek bagaimana dangdut seharusnya dibawakan. Gaya baru yang diinisasi oleh Via dengan tampil menggunakan gaya pakaian khas idola Korea tersebut justru menjadi konsentrasi utama bagaimana persoalan tubuh masih menjadi sebuah diksusi menarik dalam studi mengenai budaya populer—khususnya dangdut.

Perempuan masih dipandang melalui lubang yang berbada dengan bagaimana dangdut memandang penyanyi laki-laki. Pujian atas penampilan Via Vallen yang memilih pakaian dianggap ‘tertutup’ dan minim goyangan justru semakin memertegas bagaimana tubuh penyayi perempuan dangdut di Indonesia masih dikonstruksikan—dan masih belum dipikirkan ulang. Mengikuti pernyataan Viriya Paramita (2015), seakan pemerintah tak percaya diri dengan legitimasi sendiri sehingga harus menegaskan dengan sensor soal mana yang benar dan mana yang salah. Akhirnya, penerimaan dangdut di Indonesia masih seperti diskon di toko baju: syarat dan ketentuan berlaku.

***

Catatan Kaki

Bader, S. (2011). Dancing Bodies on Stage. Indonesia and The Malay World, Vol. 39, No. 115, Hal. 333-355.

Hefner, R. (2010). Religious Resurgence in Contemporary Asia: Southeast Asian Perspectives on Capitalism, the State, and the New Piety. The Journal of Asian Studies, Vol. 69, No. 4, Hal. 1031-1047.

Heryanto, A. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Jenks, C. (2003). Transgression. London: Routledge Taylor & Francis Group.

Paramita, V. (2015). Menjejal Jakarta: Pusat dan Pinggiran dalam Sehimpun Reportase. Sleman: EA Books.

Weintraub, A. N. (2012). Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

***

Konten ini ditulis oleh Rewina Ika Pratiwi. Ia adalah seorang mahasiswa S1 di Departemen Antropologi Universitas Gadjah Mada yang fase hidupnya sedang ‘dangdut’.

Want to Write for Us?

Share This